Rabu, 23 Mei 2012

Lokananta dan Monumen Pers Surakarta #tugas


Perjalanan Lokananta dimulai pada tanggal 29 Oktober 1956 yang tidak lepas dari prakarsa seorang tokoh asal Solo bernama R. Maladi. Beliau adalah seorang komposer dan pencipta lagu yang terkenal dengan lagu “Dibawah Sinar Bulan Purnama”. Lokananta ini diresmikan oleh Menteri Penerangan waktu itu, bapak Sudibyo dengan nama Pabrik Piring Hitam Lokananta.
Nama Lokananta sendiri juga diusulkan oleh R. Maladi yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio Republik Indonesia (RRI) Jakarta. Lokananta berarti suara gamelan dari khayangan yang tidak ada penabuhnya. Nama yang diusulkan oleh Maladi ini sebelumnya telah diajukan kepada presiden Soekarno dan telah disetujui. Bangunan yang terletak di Jalan Ahmad Yani, Solo ini merupakan pabrik piringan hitam pertama di Indonesia.
Lokananta bisa jadi merupakan saksi dan tonggak perkembangan media dan musik di Indonesia, khususnya di bidang rekaman. Mengapa Solo dipilih sebagai tempat didirikannya pabrik piringan hitam ini? Selain menjadi tempat asal R. Maladi, Solo juga merupakan kota yang mempunyai perjalanan historis yang menarik mengenai perkembangan media. Seperti yang telah kita ketahui bahwa Solo merupakan kota pertama di Indonesia yang bisa melakukan siaran radio. Selain itu, Solo dipilih karena kota ini sangat kental dengan seni dan kebudayaan.
Sebagai unit pelaksana jawatan, Lokananta berfungsi untuk merekam, memproduksi dan menggandakan piringan hitam untuk bahan siaran 27 RRI di seluruh Indonesia. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa Lokananta memiliki koleksi lagu dari berbagai genre dan daerah di Indones8ia. Mulai dari lagu keroncong, pop, lagu daerah Jawa, Sunda, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lain. Meskipun dalam perkembangannya, piringan hitam tidak lagi menjadi sebuah sarana yang trend untuk menyimpan hasil recording.
Dengan begitu, pendengar radio bisa mengenal siaran musik dan lagu dari daerahnya maupun musik dan lagu dari daerah lain. Tahun 1958 Lokananta mulai memasarkan produksi piringan hitamnya yang diberi label nama Lokananta kepada masyarakat umum melalui RRI. Bahkan sampai saat ini, bila kita menjumpai piringan hitam produksi dalam negeri, kita masih bisa mengamati logo Lokananta yang tertempel di piringan hitam tersebut.
Tahun 1961, Lokananta berstatus sebagai perusahaan negara berdasarkan PP Nomor 215 Tahun 1961. Beberapa tahun setelah Lokananta berdiri, sekitar tahun 1971, kaset mulai muncul dan menggeser piringan hitam. Dan Lokananta juga ikut memyesuaikan dirinya dalam melaksanakan tugasnya. Pada dasarnya tugas Lokananta masih sama, hanya medianya saja yang berganti. Tidak lagi menggunakan piringan hitam saja.
Agar dapat mengembangkan potensi Lokananta agar dapat bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta diubah menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983. Dengan begitu, Lokananta berhak menjadi pusat penggandaan Betamax dan video bersama dengan TVRI dan PPFN. Namun, sekitar tahun 1997-2000 terjadi likuidasi pada Departemen Penerangan. Hal ini berimbas pada status Lokananta yang semakin rumit dan tidak jelas.
Pegawai RRI Surakarta yang tadinya bertugas di sana memilih kembali ke instansi asal. Sehingga yang bertahan di Lokananta hanya yang berstatus pegawai perusahaan, sejumlah sekitar 24 orang. Dalam masa sulit itu, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen Subrata, status Lokananta menjadi cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian BUMN. Sehingga karyawan Lokananta sekarang juga berstatus sebagai pegawai PNRI. Namun sampai saat ini, nasib Lokananta dan karyawannya tetap merana.
Padahal bila kita mau sedikit berfikir kritis, Lokananta sejatinya merupakan perusahaan rekaman dan bergerak di bidang media. Dan dalam pelaksanaannya, Lokananta menjadi sebuah tempat berkumpulnya kebudayaan berupa rekaman dan lagu-lagu daerah. Bila pemerintah peduli akan hal ini, Lokananta sebenarnya bisa dimaksimalkan sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan serta wisata edukasi kota Surakarta. Maka selayaknya Lokananta berada dibawah Dinas Kebudayaan, bukan PNRI yang sejatinya bergerak di bagian percetakan.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Lokananta, bangunan tersebut memang masih terawat dengan baik. Hanya saja suasananya begitu sepi, jauh dari bayangan saya tentang kesibukan sebuah perusahaan recording yang dulu pernah menjadi tugas Lokananta. Bangunan bangunan utama, dalam arti yang masih sering digunakan memang masih terlihat bersih. Namun sarana pendukung dan bangunan di sudut-sudut kawasan Lokananta tampak seperti tidak terawat.
Bahkan, Museum yang dianggap sebagai “Abbey Roa­d­-nya” Indonesia tersebut tidak mendapat perhatian yang cukup serius baik itu dari pemerintah atau pihak-pihak swasta lain yang peduli tentang sejarah. Maklum saja bila memang bangunan yang ada disana sudah mulai usang, karena saat ini karyawan di Lokananta hanya sedikit. Mereka pun harus berusaha secara mandiri untuk menghidupi dan mencukupi biaya operasional Lokananta. Salah satu usaha yang telah dilakukan adalah dengan membuka arena futsal untuk umum.
Berikut ini merupakan beberapa kegiatan atau tugas Lokananta saat ini, yaitu :
  1. Recording.
Memproduksi dan memasarkan kaset dan CD Audio serta penjajakan untuk VCD
  1. Broadcasting.
Melayani permintaan rekaman studio, penggandaan kaset dan Audio CD baik untuk sarana media program pemerintah, perusahaan/instansi, organisasi, maupun perorangan.
  1. Printing and Publishing.
Melayani permintaan percetakan dan penerbitan buku-buku Perum Percetakan Negara RI
 Jenis-jenis produksi Lokananta :
1.      Degung, Jaipong, dan Banyumasan
2.      Klenengan Surakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur
3.      Beksan / tari, Tayub dan Tandhakan
4.      Ludruk, Banyuwangen dan Gendhing Bali
5.      Ketoprak, Wayang Kulit, Wayang Orang dan Wayang Golek
Pertama kali saya datang ke Lokananta, rombongan kami dibawa masuk ke ruang recording. Suasana disana sangat kental dengan atmosfer “lawas”, sama seperti bila kita masuk ke ruang recording di RRI maupun TVRI. Meskipun ruangan tersebut memang bersih dan rapi. Ruang tersebut kondisinya juga masih bagus karena belum lama direnovasi. Di ruang tersebut juga terdapat seperangkat gamelan yang bernama Kyai Sri Kuncoro Mulyo.
Sejarah singkat gamelan yang dibuat sejak jaman Pangeran Diponegoro ini dituliskan pada sebuah papan kayu yang diletakkan di sebelahnya. Seperangkat gamelan ini tadinya milik R. Moelyosoeprobo yang berasal dari Priyagung Trah Dalem di Yogyakarta Hadiningrat tahun 1920. Gamelan ini diboyong ke Surakarta oleh pewaris pertamanya, R. Moelyosoehardjo pada tahun 1937. Sejak tanggal 12 Oktober 1984 seperangkat gamelan ini berada di Lokananta.
Proses rekaman jaman sekarang dan dahulu, seperti yang dikemukakan oleh salah satu karyawan Lokananta sangatlah berbeda. Jaman sekarang (digital) rekaman bisa dilakukan secara terpisah dan bisa diulang-ulang beberapa bagian yang salah saja. Namun jaman dahulu, ketika dilakukan proses rekaman, proses tersebut harus utuh. Tidak boleh terjadi kesalahan sedikit saja. Karena bila terdapat kesalahan dalam rekaman, maka rekaman tersebut harus diulang dari awal.
Bagian lain dari Lokananta menyimpan banyak sekali koleksi dan warisan budaya, serta alat-alat yang dahulu digunakan untuk menggandakan piringan hitam. Saat ini Lokananta memiliki koleksi kurang lebih 40.000 keping piringan hitam yang tersimpan rapi di salah satu ruangan. Disana kita bisa menemukan berbagai macam lagu jaman dahulu, dari berbagai daerah di Indonesia. Banyak juga terdapat karya dari penyanyi jaman dahulu, misalnya saja Waldjinah dan Gesang, serta penyanyi-penyanyi legendaris jaman dahulu.
Lokananta juga menyimpan arsip lagi Indonesia Raya versi 3 stanza yang sempat menghebohkan beberapa saat yang lalu. Tempat ini juga berperan penting dalam menyimpan arsip kebudayaan negara Indonesia. Salah satunya ketika lagu Rasa Sayange diklaim oleh Malaysia, Indonesia bisa membuktikan bahwa lagu tersebut merupakan budaya khas Indonesia yang sudah ada sejak jaman dahulu. Karena Lokananta menyimpan master lagu tersebut.
Di ruangan lainnya, saya menjumpai banyak alat-alat yang digunakan untuk merekam dan menggandakan piringan hitam, serta alat-alat yang digunakan Lokananta selama beroprasi. Alat-alat tersebut antara lain :
1. Mikrofon yang digunakan jaman dahulu
2. Alat pemutar piringan hitam
3. Mixer  audio tahun 1960
4. Alat quality control tahun 1980
5. Alat penggandaan kaset
6. Mesin pemotong pita kaset, dan lain-lain.

Perjalanan kami di kota Surakarta dilanjutkan ke Monumen Pers Nasional yang letaknya berada di tengah kota Surakarta. Monumen ini berada di Jalan Gadjah Mada nomor 59, Surakarta. Letaknya yang strategis dan aksesnya yang mudah dijangkau menjadikan monumen ini cukup banyak pengunjungnya bila dibandingkan dengan Lokananta yang nampak sepi.
Bila pertama kali melihat bangunan ini, nampaknya tidak seperti sebuah museum atau monumen pers. Karena memang bangunannya sangat megah. Arsitekturnya sangat indah dan didesain menggunakan batu candi. Sehingga seolah-olah mirip seperti candi yang berada di tengah kota. Dahulu bangunan ini  dikenal dengan sebutan "Sociteit" dan pada tanggal 9 Februari 1946 dipergunakan tempat menyelenggarakan Kongres Pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kemudian ditempati Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Surakarta hingga tahun 1977.
Surakarta menjadi sebuah kota yang sangat bersejarah, terutama berkenaan dengan perkembangan media dan jurnalisme. Dalam penjelasan yang dikemukakan petugas di Monumen Pers Nasional, sejak jaman awal kemerdekaan Surakarta memang menjadi basis berkumpulnya wartawan dan jurnalis. Mereka berada di Surakarta dengan pertimbangan bahwa Surakarta merupakan kota terdekat dari Yogyakarta. Karena pada saat itu Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan negara dan administrasi.
Biasanya PWI berkedudukan di setiap provinsi. Namun karena faktor historisnya, Surakarta memiliki cabang PWI sendiri, selain PWI Jawa Tengah.
Pada tahun 1933 di gedung ini diadakan rapat yang dipimpin oleh R.M. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang kemudian melahirkan stasiun radio baru yang bernama Solosche Vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi. Di gedung ini pula PWI (Persatuan Waratawan Indonesia) terbetuk pada 9 Februari 1946. Tanggal tersebut juga ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan Hari Pers Nasional.
Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut, maka bekas gedung “Sasana Soeka” tersebut ditetapkan untuk dijadikan Monumen Pers Nasional. Semula gedung ini adalah sebuah societiet miik kerabat Mangkunegaran. Gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA. Sri Mangkunegoro VII, pada tahun 1918 dan digunakan sebagai balai pertemuan. Gedung ini pernah menjadi Markas Besar Palang Merah Indonesia (PMI).
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1978 Presiden Soeharto meresmikan gedung Societiet Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional dengan menanda tangani prasasti. Gedung Monumen Pers Nasional tersebut selanjutnya dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional yang berada di bawah Departemen Penerangan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI No.145/KEP/MENPEN/1981 tanggal 7 Agustus 1981. Yayasan ini bertugas mengatur dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Surakarta.
Pasca likuidasi Departemen Penerangan RI, status Monumen Pers Nasional berada dalam Badan Informasi dan Komunikasi Nasional. Setelah Lembaga Informasi Nasional diintegrasikan kedalam Departemen Komunikasi dan Informatika pada tahun 2005, maka Monumen Pers Nasional menjadi satuan kerja dibawah Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tanggal 16 Maret 2011, diputuskan Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Monumen Pers Nasional ini mempunyai tugas dan fungsi yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tanggal 16 Maret 2011 tentang organisasi dan tata kerja Monumen Pers Nasional. Tugas dan fungsi tersebut yaitu :
1. Tugas:
Monumen Pers Nasional mempunyai tugas melaksanakan pelestarian dan pelayanan kepada masyarakat mengenai Monumen Pers Nasional dan produk pers nasional yang bernilai sejarah.
2. Fungsi:
  1. Pelaksanaan pelestarian pemberian pelayanan kepada masyarakat mengenai Monumen Pers Nasional dan produk pers nasional yang bernilai sejarah.
  2. Pelaksanaan administrasi Monumen Pers Nasional.
Dalam kunjungan yang saya lakukan, saya mengamati bahwa di Museum Pers Nasional tersebut terdapat banyak sekali koleksi yang disimpan rapi dalam ruangan-ruangan. Sayang sekali, di beberapa bagian museum sedang dilakukan perbaikan, juga beberapa barang sedang dibawa ke luar kota dalam rangka pameran. Sehingga kami tidak bisa melihat keseluruhan koleksi, juga diorama-diorama. Benda-benda dan koleksi yang ada di Monumen Pers Nasional tersebut antara lain :
1. Patung naga.
Begitu datang ke Museum Pers, selain disambut dengan bangunan yang megah, kita juga akan melihat patung naga yang ada di sisi pintu masuk.
2. Kenthongan.
Terdapat sebuah kenthongan besar yang bernama Kenthongan Kyai Swara Gugah. Kenthongan yang terbuat dari kayu ini melambangkan sebuah alat informasi pada jaman dahulu. Karena jaman dahulu, penyebaran informasi dilakukan dengan memukul kenthongan agar masyarakat berkumpul, kemudian informasi bisa disampaikan. Nama Kyai Swara Gugah sendiri melambangkan harapan bahwa masyarakat Indonesia akan selalu tergugah untuk membangun bangsa. Kenthongan ini sudah berada disini sejak 1978.
3. Baju Wartawan Hendro Subroto.
Siapa Hendro Subroto? Beliau adalah seorang wartawan perang yang sangat hebat. Ia pernah meliput perang yang terjadi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Baju ini adalah baju yang digunakan ketika terjadi konflik di Timor Timor tahun 1975. Beliau tertembak di beberapa bagian, namun masih bisa diselamatkan.
4. Mesin ketik kuno
Mesin Ketik Kuno merk Underwood yang dibuat  sekitar tahun 1920 – 1927 ini merupakan milik  Bakrie Soeriatmadja, salah seorang Perintis Pers Indonesia. Bakrie Soeriatmadja merupakan seorang  wartawan dan Pemimpin Redaksi Koran berbahasa Sunda, Sipatahoenan.
5. Pemancar radio kambing
Pemancar radio ini digunakan ketika perang gerilya ke II tahun 1948-1949. Ketika itu Radio Republik Indonesia (RRI) terpaksa mengungsi di desa Balong, Karanganyar. Dalam situasi darurat perang, RRI tetap mengudara untuk mengobarkan semangat perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pemancar ini disebut pemancar radio kambing karena pemancar tersebut disembunyikan di dekat kandang kambing. Sehingga terkadang terdengar suara kambing ketika siaran dipancarkan. Usaha tersebut dilakukan guna menghindari serangan musuh. Dalam keterangan yang saya catat, pemancar ini diduga merupakan pemancar yang sama dengan yang pernah digunakan oleh SRV (Soolosche Radio Vereneeging) untuk menyiarkan secara langsung musik gamelan dari Solo ke Belanda pada 7 Januari 1937 di Istana Kerajaan Belanda.o
6. Plat cetakan perdana koran Kedaulatan Rakyat
Koran Kedaulatan Rakyat pertama kali terbit pada 27 September 1945 di Yogyakarta, satu bulan setelah Indonesia Merdeka. Didirikan oleh  H. Samawi dan H Sumadi Wonohito. Nama Koran  “Kedaulatan Rakyat”  diambil dari  UUD 1945 aline 4, Suara Hati Nurani Rakyat. Dalam Edisi Perdana Kedaulatan Rakyat tersebut memuat wawancara dengan Presiden Soekarno  yang menegaskan  bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan hadiah dari Jepang melainkan merupakan kemauan bangsa Indonesia sendiri .
7. Mikro film sumbangan wakil presiden Adam Malik.
8. Koran dari berbagai daerah di Indonesia.
Koran koleksi Monumen Pers Nasional ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Koran-koran disimpan di ruangan tertentu. Saya menemukan koran Suara Karya tertanggal 9 Februari 1985. Mungkin banyak sekali koran-koran lain dengan umur yang lebih tua. Namun kendala dalam penyimpanan koran ini adalah kertas koran yang sudah mulai lapuk dimakan usia.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Monumen Pers Nasional adalah dengan digitalisasi surat kabar. Sehingga arsip yang ada semakin lengkap, dan tidak perlu khawatir bahwa koran tersebut beberapa tahun mendatang akan rusak dimakan usia.
9. Tabloid dan majalah
Di sebuah ruangan tersimpan sekumpulan majalah yang dibendel menjadi 1 sesuai bulan terbitnya. Kemudian majalah tersebut disusun berdasarkan judul majalah dan bulan terbitnya.
Saat ini, setiap harinya Monumen Pers Nasional tersebut melayani kunjungan masyarakat, terutama mereka yang mencari informasi melalui perpustakaan dan dokumentasi media cetak. Fasilitas Media Center setiap hari juga dipenuhi oleh pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum untuk mengakses internet dan wifi secara gratis. Ditambah dengan papan baca yang diletakan di depan Monumen Pers, yang merupakan trotoar di pinggir jalan. Dengan itu, diharapkan bisa meningkatkan minat baca dan juga masyarakat dapat mendapat informasi terkini dari koran yang dipajang di papan baca tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar