Sabtu, 28 Januari 2012

Gempa Dewita, Jum'at 27 Januari 2012


Jogja, 28 Januari 2012

Kemarin, hari Jum’at tanggal 27 Januari 2012 berjalan seperti biasa pada awalnya. Sejak pagi saya santai-santai saja nonton tv karena memang tidak ada rencana pergi kemanapun pagi itu. Walaupun siangnya ada janji dengan 2 teman saya, este dan yumi. Semua pekerjaan rumah belum saya selesaikan karena saat itu masih jam setengah 10. Sekitar jam 10.26 pagi ada sms masuk, dari Adityo.
“Gempa kecelakaan parah” DEG !! Tapi masih nggak percaya. Dasarnya aku bukan orang yang langsung ‘ngeh’ denger berita kayak gitu. Aku bales
Aku bales “Sumpah ditt? Dimana?”
“Neng jalan Wonosari, motore helme gempa. Sumpah. Aku neng lokasi.” Tambah deg-deg’an.. Tapi masih belum percaya. Siapa tau cuma mirip doang.. Sebenernya aku punya nomer HP bapaknya Gempa, tapi masih belum berani ngehubungin, takut kalo bikin panik doang.
Adit sms lagi “Cobo kowe hubungi keluargane.. Sik jelas ki helm’e karo motore Gempa. Aku yakin. Helm’e digambari nganggo pensil to?” Nahh ini sudah  mulai panik banget. Sambil gemeteran aku telfon Adit.
Dia nyebutin nomor polisi motor yang kecelakaan itu, AB 2507 YK. Aku nggak hafal nomor motor gempa. Adit nyuruh aku dateng ke TKP. Di jalan Wonosari daerah depan pasar Wage, karena dia belum tau Gempa dibawa ke rumah sakit mana. Cepet-cepet aku cuci muka trus ganti baju. Semua kerjaan aku tinggalin, rumah juga nggak dikunci. Waktu mau otw, adit sms aku lagi kalau Gempa dibawa ke RS Bethesda. Udah kepikiran macem-macem sihh, soalnya kalo kecelakaan nggak parah kan pasti  pertolongan pertama dilakuin di RS Hardjolukito, bukan Bethesda yang jaraknya jauh dari TKP.
Sebelumnya aku sms Vira. Dia ternyata belum dapet kabar dari Adit. BBMnya pending. Vira yang lagi di kampus langsung sms Endrix disuruh ke Bethesda. Aku juga batalin janji ketemuan sama Este Yumi, aku bilang kalo temenku ada yg kecelakaan. Aku belom bilang kalo Gempa yang kecelakaan.
 Waktu aku sampai di Bethesda, otomatis langsung jalan ke IGD sambil telfon Endrix. Ternyata Endrix sama Imam udah nyampe di IGD. Endrix ngajak aku masuk ke dalem, udah ada bapaknya Gempa juga disana. Aku masih nggak tau apa-apa, aku kira Gempa cuma kecelakaan biasa. Endrix ngegandeng aku ke depan sebuah ruang, “Gempa dimana ndrix? Kenapaaa?”
Diem bentar, Endrix bilang “Sabar Nin, Gempa disini, tapi di udah nggak ada. Gempa meninggal” DEG !! Yaaaa Allah hampir pingsan aku disitu.. MENINGGAL !! Ya Allah, naaaangis sesegukan di depan bilik tempat Gempa tertidur. Sumpah nggak pernah aku ngerasa sesedih itu. Setelah agak tenang, aku mulai ngehubungin temen-temen deket. Lala nggak bisa dihubungin. Aku telfon Idul yang waktu itu masih di rumah, aku belum bilang kalau Gempa meninggal. Setelah beberapa lama, temen-temen mulai dateng. Awalnya aku nggak berani ngliat Gempa, tapi aku beraniin ketemu. Yaa Allah dia kayaknya tenang banget tidurnya, wajahnya pucat, ada beberapa luka dan darah di wajah dan kepalanya.
Waktu Lala Idul dateng, mereka ngiranya Gempa cuma kecelakaan biasa. Tapi setelah tahu kalau Gempa udah nggak ada, semuanya lemes, nangis. Beberapa saat kemudian, keluarganya Gempa dateng. Kasihan banget denger ibunya nangis :’) Nggak tau beritanya nyebar darimana, banyak banget temen2 yang sms dan telfon aku. Mulai dari temen2 seangkatan sampe kakak kelas adek kelas nanyain kamu, Gem.. Mereka semua peduli sama kamu, semuanya sayang sama kamu :’) Semuanya bersedia nganter kamu, mereka maen ke rumah kamu, Gem..
Aku denger kronologisnya, awalnya Gempa naik motor (Revo hitam, garis merah) di jalan Wonosari ke arah barat. Dia udah di pinggir jalan. Trus ada motor yang mau nyebrang, mungkin mau masuk pasar. Waktu setengah menyebrang, ada mobil APV (lawan arah Gempa) dari arah barat dengan kecepatan yang cukup tinggi. Karena menghindari penyeberang tersebut, pengendara APV banting stir ke kanan trus ngenain Gempa :’( motor gempa remuk, mobilnya juga penyok parah bangian depannya.

AB 2507 YK

Baru 13 hari kamu berumur 19 tahun, sekarang kamu udah nggak ada. Maaf yaa, sampai tadi pagi pun waktu aku bangun tidur, ngaca, dan aku masih nangis. Nangisin kamu Gem :’)

Jumat, 27 Januari 2012

CINTA (?)

Kata (para cowok), cuma ada 2 tipe cowok, ‘banci’ dan ‘bajingan’. Banyak yang lebih bangga menyebut dirinya bajingan daripada banci. Kenapa bisa begitu? Entahlah.. Kenapa tanya sama saya? tanya sama cowok-cowok yang menamakan dirinya bajingan (atau mungkin banci) itu dong. Walaupun yang saya yakini, ada cowok bajingan yang nggak bajingan bajingan amat. Atau cowok banci yang nggak banci banci amat juga. Everything not just have 2 sides, not just black or white, but sometimes grey too.
Okeeey abaikan dan tinggalkan saja blog ini bila anda merasa tulisan ini sampah banget. Karena saya memang suka sampah :D
Nah, kalo ngomongin cowok, kadang sebagai cewek nggak habis pikir gimana cara berfikir mereka. Yaa iyalah, jalan pikiran perasaan dan logika cowok dan cewek itu beda. So, kita ngomongin cewek aja. Jaman sekarang banyak cewek yang mengaku ‘realistis’ dengan kehidupan cinta mereka. Apasih definisi realistis? Tiap orang punya pandangan yang beda2 dong yaa.. Tapi apa bener itu namanya realistis? Sepertinya kata realistis dan matre cuma beda tipis.
Pada dasarnya saya setuju dengan sifat realistis ini. Hellooo ! Jaman sekarang cuma mikir cinta doang? Seems so funny hahaha. Saya setuju dengan pemikiran bahwa cinta juga harus diimbangi dengan materi (harap diberi penekanan pada kata diimbangi). Dengan catatan, bukan materi sekedar uang jajan dari orang tua dan semacamnya. Tapi untuk saya pribadi, lebih kepada materi yang sifatnya untuk masa depan. Berbeda dengan matre, kan? Menurut saya, matre ituuu maksudnya menghubungkan apapun dengan materi. Dikit-dikit duit. Orientasi hubungan dilandasi oleh materi. Sebaliknya, hubungan yang realistis itu dilandasi perasaan, dengan didukung materi.
Saya tidak habis pikir bagaimana ada perempuan yang bisa dengan mudah menodong pacarnya untuk membelikan ini itu dan menyuruh mengantar kesana kemari. Ini masih pacaran mbak. Pacaran ! Sebenarnya laki2 berhak menolak. Dia belum punya tanggung jawab apapun secara materi maupun rohani terhadap ‘pacarnya’. Tapi nyatanya? Entah si perempuan yang terlalu pintar meminta atau laki-laki yang terlalu bodoh karena mau menuruti semua permintaan pacarnya itu. Dan yang perlu digarisbawahi, saya sangat tidak setuju dengan matrealisme semacam ini. Kalau anda membutuhkan sesuatu, berusahalah. Jangan hanya bisa meminta. Correct me if I’m wrong.
Silahkan menganggap saya kuno atau semacamnya. Tapi sejak kecil orangtua saya mengajarkan bahwa jangan membiasakan meminta apapun dari orang lain. Nah yang satu ini juga menjadi prinsip hidup saya. Karena dengan kebiasaan meminta, saya telah menggantungkan diri kepada orang lain, dan itu berarti saya tidak mandiri. Cukup saya menggantungkan hidup, hati dan pikiran saya hanya kepada orangtua dan keluarga saya. Menggantungkan diri kepada orang lain, pacar mungkin? Hahaha selama hubungan itu masih sebatas ‘pacar’, secara hati mungkin iya. Tapi secara materi?? I don’t think so.. Ingatlah, ketika anda berani menggantungkan diri pada oranglain, bersiap-siaplah menghadapi kemungkinan bahwa orang tersebut akan melepaskan gantungan anda darinya. Sedang jatuh cinta? Berfikirlah realistis :)

Rabu, 25 Januari 2012

Resensi, Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya #tugas #UAS



                                      Judul Buku       : Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya
Penyusun         : Rizal Mallarangeng
Penerbit           : KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)
Edisi                : Cetakan I, September 2010
Tebal               : xxvi + 155 halaman
Ukuran             : 13 x 19 cm

 Pers sejatinya merupakan sarana mengkritik dan pengendali kebijakan pemerintah. Dua institusi besar pers yang ada ketika masa Orde Baru adalah Kompas dan Suara Karya. Tadinya kedua institusi ini sama-sama menjadi alat, atau biasa disebut organ partai yang berbeda yang berkembang pada masa itu. Kompas yang lahir terlebih dulu daripada Suara Karya, tadinya berafiliasi dengan Partai Katolik sebelum dihapuskannya keharusan berafiliasi dengan partai politik. Sedangkan Suara Karya yang lahir pada masa Orde Baru menjadi koran partisan (koran partai) yang memang dipelopori oleh para simpatisan Partai Golkar.
Buku yang terdiri dari 3 bagian ini secara lugas memaparkan komparasi antara kedua institusi pers dan perkembangannya di masa Orde Baru. Di bagian pertama, penulis mencoba menjelaskan tentang berita utama (headline) dan tajuk rencana secara umum disertai contoh yang dikutip dari Kompas dan juga Suara Karya. Di bagian ini juga terdapat identifikasi penulis terhadap penyajian berita utama dan tajuk rencana yang dimuat di kedua institusi. Disertai penilaian subjektif-objektif terhadap rubrik yang disajikan.
Komparasi dilakukan dalam berbagai aspek. Mulai dari sumber informasi, ideologi sampai data perkembangan tahunan yang ada dalam kedua institusi tersebut. Sehingga pembaca bisa melihat seberapa besar perbedaan dalam kedua media.
Kompas yang menjadi salah satu koran nasional mengalami masa kejayaannya pada tahun 1986 karena oplah surat kabar ini menembus angka 500.000 eksemplar dan distribusinya yang merata hampir ke seluruh pelosok Indonesia. Pada perkembangannya, Kompas melakukan ekspansi dengan membuat jenis usaha yang berbeda. Setidaknya ada 5 jenis usaha selain pers. Di bidang pers sendiri, Kompas juga mengembangkan media lain seperti majalah anak-anak, remaja, ibu-ibu, serta mendirikan harian lokal di berbagai kota.
Sedangkan Suara Karya yang pada dasarnya merupakan koran partisan Partai Golkar, perkembangannya tidak sebaik Kompas. Pertambahan oplah Suara Karya sangat kecil, bahkan lebih sering menurun tajam. Konsumsi terhadap Suara Karya banyak diserap oleh instansi, bukan oleh masyarakat umum. Sehingga tidak bisa dibilang bahwa Suara Karya semakin berkembang pada masa itu.
Penulis menyajikan data kuantitatif dan kualitatif dengan deskripsi serta penjelasan yang lengkap dalam mendukung argumennya. Mulai dari data mengenai perkembangan oplah kedua media, wartawan dan pekerja, sumber informasi, persentase orientasi realitas dalam beberapa rubrik, dan lain-lain. Terdapat beberapa hal yang ditekankan oleh penulis yang tampak di beberapa bagian yaitu mengenai orientasi realitas psikologis dan sosiologis kedua harian.
Walaupun penggabungan data kualitatif dan kuantitatif memang sulit dilakukan, dalam studi ini penulis melakukan analisis isi dan membangun pengertian-pengertian terhadap hasil analisis tersebut. Ditambah dengan tanggapan beberapa tokoh pers dan teori-teori yang mendukung argumen penulis.
Melalui buku yang dikembangkan dari tugas akhir (skripsi) ini, kita bisa mencermati seberapa besar perkembangan pers di masa Orde Baru, terutama dalam institusi Kompas dan Suara Karya. Buku ini sangat cocok dibaca oleh mahasiswa maupun orang yang tertarik dan ingin masuk ke dalam dunia pers. Dengan penggunaan bahasa yang menarik, penulis juga mendorong kita untuk berlaku kritis dan bertanggungjawab.

New Media, Jendela Informasi untuk Warga #tugas #UAS



Febriana Noor Haryanti
11/ 320236/ SP/ 24954

            Konsep Citizen Journalism akhir-akhir ini menjadi sebuah trend baru di kalangan pers. Citizen journalism atau biasa juga disebut dengan jurnalisme warga adalah kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh orang yang tidak mempunyai latar belakang jurnalistik. Menurut Danny Schechter (2007: 87), “setiap warga adalah jurnalis.”[1] Dan menurut Bowman dan Willis (2003), “…the act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information.”
Di dalam dunia pers, terdapat kode etik jurnalistik yang harus dipatuhi oleh setiap jurnalis. Kode etik jurnalistik merupakan tata susila kewartawanan, norma tertulis yang mengatur sikap, tingkah laku, dan tata krama penerbitan (KBBI, 1990: 448). Apakah kode etik ini juga berlaku dalam citizen journalism? Banyak perdebatan mengenai hal ini. Namun yang pasti, setiap orang seharusnya bisa bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya.
Kegiatan pengumpulan informasi tanpa distribusi belum bisa dikategorikan sebagai jurnalisme warga. Jadi, konsep citizen journalism merupakan kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh seseorang yang tidak mempunyai latar belakang jurnalistik, dan informasi yang diperoleh kemudian disebarluaskan melalui media agar orang lain bisa menerima informasi tersebut.
Media yang bisa menjembatani kegiatan sharing informasi sekarang ini sudah sangat beragam. Institusi pers konvensional seperti media cetak dan televisi sudah mulai membuka pintu kepada masyarakat untuk berinteraksi dan berbagi informasi. Di Indonesia, praktik citizen journalism pertama kali dilakukan oleh Elshinta radio dengan menjadikan laporan warga sebagai sumber beritanya.[2]
Di media televisi, Metro TV melalui program Wideshot MetroTV memberikan kesempatan kepada warga untuk menjadi reporter dan melaporkan sebuah peristiwa. Walaupun kita juga tahu bahwa reportase yang dilakukan warga tersebut hanya sebatas menyampaikan informasi  yang sifatnya di permukaan saja.
Setelah abad 20 mulai dikenal istilah new media yang pada dasarnya merupakan era digital, tidak lagi menggunakan metode konvensional seperti media televisi maupun cetak. Menurut Philip N. Howard (2006: 1), “After the 2004 elections, surveys revealed that over half the electorate had gone online to get news or information about the campaigns.” Internet menjadi salah satu pilihan utama memperoleh informasi yang secara tidak langsung mendorong perkembangan citizen journalism.
Informasi yang bisa diakses melalui internet sekarang ini sudah tidak terbatas. Selain digunakan untuk berkirim surat elektronik (email), internet juga dimanfaatkan utuk web, blog, social network yang juga semakin menjamur di masyarakat. Karena kemudahan aksesnya, banyak institusi pers membuat web page untuk menjaring interaksi & apresiasi masyarakat secara langsung.
Salah satu situs citizen journalism di Indonesia yang terkenal adalah kompasiana.com. Nama Kompasiana yang sebelumnya pernah digunakan untuk kolom khusus yang dibuat oleh PK Ojong ini diusulkan oleh Budiarto Shambazy, seorang wartawan senior Kompas.  Kompasiana mulai digunakan sebagai blog jurnalis sejak tanggal 1 September 2008 oleh para jurnalis harian Kompas serta beberapa penulis tamu. Karena antusias masyarakat semakin besar, tanggal 22 Oktober 2008 Kompasiana resmi diluncurkan sebagai social blog.
Pengguna Kompasiana biasa disebut dengan Kompasianer. Ketentuan jurnalisme warga dalam Kompasiana menyatakan bahwa Kompasiana tidak mengangkat atau menunjuk orang untuk bekerja sebagai citizen journalist[3]. Artinya, kegiatan jurnalisme yang dilakukan oleh Kompasianer adalah berdasarkan keinginan mereka sendiri dan tidak diperbolehkan mengatasnamakan Kompasiana dalam kegiatan pengumpulan berita maupun peliputan.
Situs lain yang saya temukan adalah Citizen6 yang merupakan bagian dari situs berita liputan6.com. Citizen6 adalah ruang bagi publik di portal berita www.liputan6.com untuk ikut terlibat dalam proses mengumpulkan, melaporkan, menganalisis, dan menyampaikan berita dan informasi peristiwa yang terjadi di sekitar dalam bentuk teks, foto, atau video.
Bila pengguna Kompasiana disebut dengan Kompasianer, pengguna Citizen6 ini disebut dengan Club6. Masyarakat bisa mengirim laporannya kepada redaksi Liputan6 melalui email. Selanjutnya, berita tersebut akan melalui proses editing terlebih dahulu, tanpa mengubah isi dan substansi materi. Seluruh berita dan informasi yang disampaikan publik akan ditampilkan di portal berita www.liputan6.com. Bahkan berita yang memiliki kriteria layak nilai berita bisa saja ditayangkan di program berita Liputan 6 SCTV.
Perbedaannya, di Kompasiana anda harus terdaftar dan memiliki account terlebih dahulu. Informasi yang diunggah di Kompasiana juga tidak melewati proses editing. Hal ini dikarenakan banyaknya informasi yang masuk setiap harinya. Proses peninjauan hanya akan dilakukan oleh Kompasiana bila terdapat laporan maupun pengaduan terhadap informasi yang ada.
Di jejaring sosial, juga terdapat banyak akun yang menghimpun informasi dari masyarakat. Contohnya di Twitter terdapat akun @JogjaUpdate dan @jalinmerapi (dari masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya). Mungkin masih banyak lagi situs yang berisi tentang citizen journalism. Hal ini merupakan salah satu bukti bahwa arus informasi di Indonesia bukan hanya seputar apa yang dilakukan oleh wartawan profesional saja. Tidak perlu kemana-mana, cukup di depan windows saja masyarakat bisa membuka “jendela” untuk mendapat maupun memberi informasi.
Seperti yang dikemukakan oleh Tjipta Lesmana, “....citizen journalism sudah liar sekali, apa saja boleh dilakukan.”[4] Hal ini tampak dengan banyaknya media yang bisa “menampung” masyarakat. Sehingga apa yang ditulis seringkali menyalahi etika maupun mengandung kritik yang berlebihan terhadap instansi-instansi tertentu tanpa terdapat kontrol terhadap tulisan-tulisan tersebut. Teknologi yang menjembatani arus informasi harus dikontrol agar tidak terjadi kekacauan informasi dan terciptanya stabilitas kehidupan bernegara yang baik.
Daftar Pustaka

Howard, Philip N. 2006. New Media Campaigns and the Managed Citizen. New York : Cambridge University Press.
Mallarangeng, Rizal. 2010. Pers Orde Baru: Tinjauan Isi Kompas dan Suara Karya. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.
Suroso. 2001. Menuju Pers Demokratis. Yogyakarta : Lembaga Studi dan Inovasi Pendidikan.
Diunduh dari http://www.anakui.com/2011/06/07/ada-apa-dengan-citizen-journalism/. Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://www.anakui.com/2011/06/14/citizen-journalism-a-phenomenon/. Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://citizen6.liputan6.com/kirim.Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://citizen6.liputan6.com/tips. Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://citizen6.liputan6.com/tentangcitizen. Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://www.kompasiana.com/term. Diunduh pada 26 Desember 2011.
Diunduh dari http://www.kompasiana.com/about. Diunduh pada 26 Desember 2011.



[1] Disampaikan oleh Kusumajanti dalam Diskusi Panel “Jurnalisme Warga” Seminar Nasional Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Tanggal 14 Desember 2011.
[2] Disampaikan oleh Muninggar Sri Saraswati dalam Diskusi Panel “Jurnalisme Warga” Seminar Nasional Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Tanggal 14 Desember 2011.
[3] Dimuat dalam ketentuan jurnalisme warga. http://www.kompasiana.com/term
[4] Dikemukakan dalam Diskusi Panel “Jurnalisme Warga” Seminar Nasional Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Tanggal 14 Desember 2011.

Selasa, 24 Januari 2012

TOPONIM KAWASAN KOTAGEDE, IDENTITAS SEJARAH #tugas #UAS


Unsur topografi/geografi disebut toponim (dalam bahasa Inggris: toponym; nym = nama). Nama diri dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan place names atau geographical names. Ilmu pengetahuan yang mempunyai objek studi tentang toponim pada umumnya dan nama-nama geografis khususnya disebut toponimi (toponymy). Istilah toponim, atau toponym dalam bahasa asing pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1876. Pada saat itu Inggris dibawah pemerintahan Ratu Victoria sedang memperluas wilayahnya dengan membentangkan jajahan ke berbagai penjuru dunia. Wilayah-wilayah baru yang menjadi  jajahan Kerajaan Inggris tersebut kemudian perlu diberi nama sebagai identitas.
            Kotagede sendiri dibangun sebagai ibukota Kerajaan Mataram pada masa Ki Ageng Pemanahan beserta putranya, Panembahan Senopati. Nama Kotagede sendiri tadinya dikenal dengan nama “Kutha Gedhe” dalam bahasa Jawa kasar (Ngoko) atau “Kitha Ageng” dalam Bahasa Jawa Halus (Kromo), keduanya berarti “kota besar”, atau dengan nama lainnya, “Pasar Gedhe” dalam Bahasa Jawa kasar, seiring selanjutnya disingkat sebagai “Sargedhe”.[1] Kotagede sejak awal juga berkembang sebagai pusat perdagangan dan industri pribumi yang melayani daerah yang luas di Jawa tengah dan Jawa Timur.

I.                   Toponim Catur Gatra Tunggal
Konsep Catur Gatra Tunggal merupakan sebuah konsep tata kota yang unik. Catur Gatra Tunggal merupakan konsep yang banyak kita temui di berbagai kota, terutama kota yang memiliki keraton maupun bekas kerajaan-kerajaan di Jawa jaman dahulu. Konsep ini kadang disebut juga dengan civic center yang berarti bagian dari kota yang secara spasial menjadi  pusat bagi berbagai macam kegiatan rnasyarakat penghuninya (Kostof,  1992 : 80-810).
Konsep ini menempatkan 4 bangunan pokok dalam suatu kota yaitu keraton sebagai tempat tinggal Raja, pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat, alun-alun sebagai ruang publik tempat berinteraksi Raja dan masyarakat maupun sebagai tempat untuk acara-acara yang diselenggarakan Raja untuk masyarakat, serta masjid sebagai tempat beribadah. Keempat tempat ini merupakan cerminan dari aspek-aspek yang harus ada di dalam sebuah kota. Yaitu politik, ekonomi, sosial dan spiritual.
Dalam filosofi Jawa, 4 tempat ini menjadi satu kesatuan yang harus ada dalam sebuah kota. Situs-situs tersebut merupakan tempat yang berdiri sendiri (terpisah) satu sama lainnya, namun dihubungkan dengan jalanan maupun koridor-koridor. Oleh karena itu konsep ini disebut dengan Catur Gatra Tunggal.
Wilayah Kotagede yang dibangun kurang lebih 400 tahun yang lalu, sekitar abad ke-16 juga menganut sistem tata kota ini. 4 tempat ini menempati  4 penjuru mata angin. Yaitu alun-alun di sebelah timur (tengah) , pasar di utara, masjid di barat, dan keraton di sebelah selatan. Penataan ini sama persis seperti yang ada di keraton Ngayogyakarta. Di sekitar area tersebut kemudian banyak terdapat pemukiman penduduk. Kawasan ini disebut juga dengan kawasan urban karena menjadi pusat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.
1.      Pasar Kotagede
Lokasi Pasar Kotagede sekarang diperkirakan sama dengan lokasinya pada jaman Mataram dulu. Ketika Sutawijaya pertama kali membuka lahan hutan Mentaok (Alas Mentaok), yang pertama kali dibangun adalah pasar. Ini merupakan langkah yang sangat tepat karena pasar merupakan pusat perekonomian. Dengan adanya pasar yang besar dan ramai, roda perekonomian mulai berputar dan lama-kelamaan banyak orang yang mendiami kota tersebut.
Pada mulanya, pasar Kotagede disebut dengan “Sargedhe” yang merupakan singkatan dari “Pasar gedhe”. Pasar ini juga merupakan tempat Panembahan dilantik dengan gelar Kyai Gedhe Matarem (Raffles 1817 (1965): II: 142). Susunan Kotagede sekarang memang tidak berpusat di keraton, namun di Pasar. Bukan hanya sekedar menjadi bangunan dengan fisik besar di tengah Kotagede, namun karena adanya pasar inilah Kotagede ramai didatangi orang terutama pada saat hari “pasaran”. Hari pasaran Pasar Kotagede jatuh pada pasaran Legi, mingguan Jawa dengan perputaran 5 hari setiap minggunya. Ketika hari pasaran, Pasar Kotagede penuh dengan kerumunan manusia yang ingin membeli barang-barang yang hanya ada setiap pasaran maupun hanya sekedar berjalan-jalan. Karena ketika hari pasaran tiba, banyak penjual yang datang dari berbagai daerah untuk menjual barang yang pada hari biasa jarang ditemui di Pasar Kotagede.
2.      Dalem Keraton
Sekarang menjadi sebuah kampung yang bernama Dalem. Terletak di sebelah selatan Pasar Kotagede. Kampung ini berada di dalam bekas cepuri Keraton Mataram. Dahulu Keraton Mataram dikelilingi oleh jagang atau parit yang berada di bagian barat, timur dan selatan. Sampai saat ini masih bisa terlihat sisa-sisa parit yang berupa kontur tanah yang agak menurun di sekeliling kampung Dalem ini.
Banyak sekali situs yang sampai sekarang masih ada di kampung ini. Mengingat kampung ini bekas Keraton Mataram. Antara lain situs “Benteng Jebolan Raden Rangga” yang merupakan bagian tembok cepuri di bagian utara yang konon dahulu dijebol oleh Raden Rangga, situs “Bokong Semar”, makam Nyai Melati dan Kompleks Watu Gilang serta Kompleks makam Hastarengga. Sampai saat ini masih ada area yang disebut dengan “Siti Sangar” yang merupakan area bekas bangunan keraton. Dan masyarakat di kampun ini tidak ada yang berani memakai tanah tersebut untuk dibangun. Entah karena rasa takut terhadap sakralnya area tersebut atau rasa hormat terhadap keraton.
3 .      Masjid Besar Mataram
Pertama kali dibangun tahun 1587 oleh Panembahan Senopati. Angka tahun yang sama juga tertera pada kelir gapura masjid. Masjid ini merupakan ikon besar Kotagede sebagai mantan pusat pemerintahan kerajaan Mataram Islam jaman dahulu. Mahkota atau mustaka masjid terbuat dari tembaga dan mempunyai ciri khas masjid keprabon atau kerajaan. Bangunan yang berada satu kompleks dengan Pasareyan Panembahan Senopati dan juga sendang Seliran ini dikelilingi oleh tembok bata yang tingginya mencapai 2,5 meter. Di sekeliling masjid juga terdapat beberapa pohon beringin besar yang disakralkan oleh masyarakat setempat.

4.      Alun-alun
Lokasinya berada di sebelah selatan Pasar Kotagede dan di sebelah timur Masjid Besar Mataram. Daerah ini dulunya diperkirakan menjadi alun-alun Mataram. Namun sekarang sudah tidak dapat ditemui adanya tanah lapang di daerah ini. Kampung alun-alun menjadi pemukiman padat penduduk dengan gang-gang sempit.

II.                Toponim berdasarkan nama tokoh
1.      Bumen
Terletak di sebelah barat daya Pasar Kotagede. Kampung Bumen diambil dari nama Mangkubumen, yang artinya tempat kediaman Pangeran Mangkubumi. Di kampung ini masih terdapat tembok bekas kediaman Pangeran Mangkubumi tersebut. Di era 60-an, kampung ini terkenal sebagai sentra industri barang-barang yang berasal dari kaleng atau blek. Di masa kejayaannya, masyarakat memiliki koperasi yang  bernama KPKB yaitu Koperasi Pengusaha Blek Kotagede yang sekarang hanya tinggal nama saja.
Di bidang kuliner, terdapat makanan khas yaitu Roti Kembang Waru yang pembuatannya masih dengan cara tradisional. Paguyuban koperasi Kembang Waru ini bernama Purba Arum yang masih bertahan sampai saat ini. Kesenian yang khas di kampung Bumen ini adalah kesenian Srandul (semacam ketoprak yang disertai dengan tari-tarian dan iringan musik gamelan), macapat, sholawatan dan karaawitan yang masih eksis sampai sekarang. Tradisi unik lainnya adalah tradisi ngarak Gendruwo saat peringatan HUT Republik Indonesia.
2.      Joyopranan
Merupakan kampung tertua di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Alun-alun. Dahulu kampung ini merupakan kediaman Pangeran Jayaprana, seorang bangsawan di masa Panembahan Senapati. Sebenarnya dahulu Pangeran Jayaprana tinggal di hutan Mentaok. Namun karena tempat tersebut akan digunakan oleh Ki Ageng Pemanahan, ia diminta untuk pergi. Pangeran Jayaprana bersedia untuk meninggalkan tempat tersebut asalkan Ki Ageng Pemanahan mampu menggendongnya pergi. Akhirnya Ki Ageng Pemanahan hanya mampu menggendong Pangeran Jayaprana sampai di suatu tempat yang kemudian menjadi kediamannya dan dinamakan Jayapranan.
3.      Purbayan
Kampung ini tepatnya terletak di sebelah selatan Kampung Bumen. Bersal dari kata Purbaya, maksudnya adalah kediaman Pangeran Purbaya, anak ketiga Panembahan Senapati. Dahulu daerah ini masih banyak terdapat lapangan dan pekarangan yang luas. Namun saat ini sudah menjadi pemukiman padat penduduk. Di kampung ini terdapat kesenian Shalawatan Maulid yang bernama Marsudi Kabudayan (Markabayan). Shalawat Maulid ini biasanya dilantunkan ketika peringatan maulid Nabi Muhammad.
4.      Gedongan
Berasal dari kata Gendong, yang merupakan nama seorang tokoh di jaman Mataram, yaitu Kiai Gedong. Ia diberi nama Kiai Gedong karena ia adalah seorang abdi dalem keraton yang bertugas menjaga gedong pusaka Keraton. Ketika muncul peperangan Pajang dan Mataram, Kiai Gedong yang sebenarnya adalah orang Pajang berpihak kepada Mataram dengan menyelundupkan senjata untuk prajurit Mataram. Karena perilakunya, ia ditangkap oleh Kerajaan Pajang dan dihukum mati. Jasadnya kemudian dimakamkan di wilayah Gedongan.
Kesenian kampung ini salah satunya dalah Kethoprak Tobong. Disebut Kethoprak Tobong karena bangunan tempat pertunjukan tersebut dibuat dengan bambu yang beratapkan rumbia. Dari beberapa paguyuban Kethoprak Tobong yang berjaya tahun 70-an, kini kesenian tersebut sudah hilang tergerus teknologi modern.
5.      Singosaren
Teretak di sebelah selatan Pasar Kotegede. Dahulu merupakan kediaman Pangeran Singosari, saudara kandung Panembahan Senapati. Di daerah ini terdapat makam srati kuda bernama Kiai Gamel yang merupakan pekathik kerajaan di jaman keraton Mataram.
6.      Mondorakan/ Darakan
Nama ini diambil dari nama Patih Mandaraka yang konon dahulu pernah tinggal di daerah ini. Kampung ini terletak di barat daya Pasar Kotagede. Di daerah ini dulunya sangat terkenal dengan aneka kuliner makanan tradisional. Tahun 60-70an banyak terdapat makanan yang digemari oleh masyarakat sekitar. Antara lain yaitu Bikan buatan Kato Punjul, jenang nangka & jangkring, dan kipa. Yang masih bertahan hingga saat ini hanyalah kipa yang terbuat dari bahan ketan dan santan, dan di dalamnya terdapat enten-enten (parutan kelapa dicampur gula jawa). Di daerah ini juga terdapat makam Prof. Dr. HM Rasyidi, mantan Mentri Agama pertama Republik Indonesia.
7.      Prenggan
Terletak di barat laut Pasar Kotagede. Ada yang mengatakan bahwa Prenggan merupakan daerah bekas kediaman Raden Rangga yang disebut dengan pa-rangga-an, atau dibaca Prenggan. Pada tahun 70-an, Kyai Asyhari mulai merintis Pondok Pesantren Nurul Ummah yang sekarang semakin berkembang dengan baik.
8.      Bodon
Berada di sebelah barat Pasar Kotagede, tepatnya di sebelah selatan Kampun Darakan. Tempat ini dahulu merupakan kediaman Panembahan Bodo, yang sebenarnya bernama Raden Trenggana. Disebut bodo atau bodoh karena menolak tawaran menjadi seorang adipati di daerah Terung dan malah memilih menyepi sebagai penyebar agama Islam di daerah Bantul. Daerah ini sekarang menjadi wilayah padat penduduk dan memiliki gang-gang sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan kecil saja.
9.      Celenan
Daerah ini diambil dari nama seorang tokoh yang bernama Kiai Cilen. Di daerah ini masih banyak ditemui rumah-rumah besar bergaya Eropa yang dulunya milik saudagar dan raja dagang Kotagede. Bangunan-bangunan tersebut memiliki pilar-pilar besar, dinding tinggi, jendela dan pintu yang besar. Rumah-rumah tersebut antara lain milik Rudi Pesik dan Dr. Rasyidi. Disini juga dapat ditemui bangunan sisa peninggalan Islam yaitu Langgar Dhuwur. Bangunan milik keluarga Dalhar Anwar ini dahulu digunakan sebagai tempat beribadah agama Islam.
10.  Basen
Berada di sebelah utara Kampung Bumen, atau timur laut dai Pasar Kotagede. Kampung ini dahulu merupakan tempat persembunyian Kyai Basah Prawirodirdjo, seorang pengikut setia  Pangeran Diponegoro. Maka, dalam perkembangannya kampung ini disebut dengan Basen. Nama Basen juga digunakan sebagai nama stasiun yang sekarang telah menjadi bangunan SMP Negeri 9 Yogyakarta yang sebenarnya terletak di kampung Tinalan.
11.  Trunojayan
Terletak di sebelah barat laut Pasar Kotagede. Nama Trunojayan seringkali dikaitkan dengan Trunojoyo, seorang bangsawan asal Madura yang menjadi musuh besar Amangkurat I. Namun pendapat ini dirasa kurang tepat karena Trunojoyo hidup di jaman Kerajaan Mataram sudah memindahkan pusat pemerintahannya di Plered. Pendapat lain mengemukakan bahwa asal nama Trunojayan adalah dari Kyai Taruno Ijoyo, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini.
12.  Sopingen
Merupakan sebuah kompleks tempat tinggal yang dulunya milik Raden Amatdalem Sopingi. Terletak di barat laut Pasar Kotagede. Di era 1900-1980, pendapa Sopingen menjadi sebuah ruang publik yang digunakan untuk pertunjukan kesenian dan politik. Pada masa kebangkitan nasional ntahun 1908, pendapa ini juga digunakan sebagai tempat rapat propaganda organisasi pergerakan nasional. Tanggal 14 Desember 1924 tempat ini digunaan untuk rapat umum PKI yang hampir menimbulkan konflik antara PKI dan Muhammadiyah yang mencoba menghalang-halangi PKI.
13.  Dolahan
Kampung ini berada di sebelah timur Pasar Kotagede. Dahulu merupakan tempat tinggal Kyai Amin Abdullah. Kampung ini memiliki sebuah mitos yang disebut dengan tumpes kelor yang sering dipahami sebagai malapetaka karena melanggar suatu pantangan. Beberapa tahun terakhir kampung ini juga dikenal dengan kampung festival karena beberapa kali menjadi tempat diselenggarakannya berbagai festival.Antara lain tahun 2002 diselenggarakannya festival Makanan Tradisional yang bekerjasama dengan Dinas Pariwisata & Seni Budaya, tahun 2009 kampung ini menerima tamu dari kawasan Asia-Pasifik dalam acara International Summer Student Program for a Better Understanding Among Nations, dan 2010 juga menerima kunjungan tamu peserta The Role of African and for a Sustainable World 55 Years after Bandung Asia-Africa Conference yang dibawa oleh Darwis Khudori, seorang penduduk Kotagede yang telah lama tinggal dan menetap di Perancis.
14.  Boharen
Berbatasan dengan Kampung Dolahan di sebelah utara, kampung ini diambil dari nama seprang tokoh yang bernama Kyai Bukhari. Beliau adalah seorang ulama yang khusus mengkaji hadits-hadits riwayat Bukhari. Di kampung ini juga terdapat dua langgar dhuwur. Salah satunya pernah digunakan untuk shooting film Sang Pencerah yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.

III.             Toponim berdasarkan nama tumbuhan/ vegetasi
Penamaan daerah berdasarkan nama tumbuhan dan vegetasi ini biasanya hanya didasarkan tumbuhan khas atau pohon besar yang dulu terdapat di tempat itu. Untuk memudahkan masyarakat yang tinggal di daerah itu, maka biasanya orang-orang akan menamai sebuah daerah berdasarkan apa yang ada di tempat tersebut. Walaupun sekarang tidak lagi dapat ditemui tumbuhan yang menjadi ciri khas kampung tersebut, namun namanya masih abadi. Contohnya yaitu :
1.      Patalan
Kampung ini berada di sebelah utara Pasar Kotagede. Sebutan Patalan berasal dari pohon Tal, nama lain dari pohon lontar.
2.      Kanthil
Kanthil merupakan sebuah kawasan yang masih termasuk dalam Kampung Trunojayan. Disebut kawasan Kanthil karena pada jaman dahulu memang banyak pohon Kanthil disitu. Ada sebuah rumah yang disebut dengan rumah Kanthil, milik Karto Jalal, seorang saudagar batik kaya di Kotagede. Rumah yang lengkap dengan pendoponya ini sekarang hanya tinggal nama. Bangunan rumahnya memang masih ada namun dibiarkan kosong sehinggaa terkesan angker. Di rumah ini dahulu juga pernah menjadi tempat shooting Dunia Lain.
3.      Kleco
Terletak di sebelah timur Lapangan Karang Kotagede. Dahulu terdapat pohon Kleco di daerah ini.
4.      Ngelo
Di daerah ini pernah tumbuh pohon Elo. Merupakan bagian dari bangunan cekdam Mrican yang terletak di sebelah barat daya Mrican.
5.      Ngori
Merupakan nama kawasan di sepanjang Jalan Purbayan yang memisahkan kampung Purbayan dan kampung-kampung di sebelah baratnya. Dinamai Ngori karena dulu di sepanjang jalan ini banyak tumbuh pohon Bambu Ori, yang sebenarnya adalah Bambu Apus. Namun masyarakat sudah terlanjur menganggapnya pohon Ori.
6.      Jagungan
Dahulu merupakan kawasan kebun jagung dan pernah ada sebuah panggung kesenian yang biasa digunakan oleh golongan PKI.

IV.             Toponim berdasarkan nama profesi
1.      Pekaten
Sebuah kampung yang terletak tepat di utara Pasar Kotagede. Dahulu merupakan tempat tinggal pada abdi dalem yang menjadi pekathik kuda. Kini kawasan ini banyak terdapat pertokoan yang berjajar di sepanjang jalan. Kesenian kampung ini adalah Ledhek Gogik.
2.      Pandeyan
Berada persis di sebelah timur Pasar Kotagede. Kawasan ini dahulu menjadi tempat tinggal pada pande besi atau pembuat alat-alat dari besi sehingga disebut dengan kampung Pandeyan.
3.      Mranggen
Berasal dari mranggi yang berarti pembuat hiasan dan ornamen berupa ukiran kecil di keris dan tombak. Namun sekarang sudah tidak ada warga yang berprofesi sebagai pembuat hiasan dan sarung keris.
4.      Sayangan
Daerah ini dinamakan Sayangan karena dulu menjadi tempat tinggal para abdi dalem sayang. Yaitu orang-orang yang memiliki keaahlian membuat barang-barang dari tembaga. Menjadi tempat cikal bakal pengolahan Yangko di Kotagede dan terdapat pembuat rokok industri romah tangga dengan merk Cap Kaki Tiga yang sekarang sudah tidak ada lagi.
5.      Jagalan
Berada di barat daya Pasar Kotagede. Seperti namanya, Jagalan berasal dari kata jagal. Karena jaman dulu di daerah ini merupakan tampat para abdi dalem yang tugasnya menjagal hewan yang akan digunakan di keraton.
6.      Kemasan
Nama ini diambil karena dulu penduduknya menjadi pengrajin perhiasan emas. Walaupun begitu, sekarang nama Kemasan terkenal dengan soto-nya yang khas. Dan sekarang di daerah ini sudah jarang ditemui pengrajin emas.
7.      Ngerikan
Dahulu menjadi tempat penjemuran kain batik yan sedang diproses. Dan ketika dijemur, banyak orang yang mengerik atau menghilangkan lapisan lilin di kain batik tersebut. Ironisnya, sekarang sudah tidak dapat ditemui kegiatan tersebut. Bahkan alat-alatnya sudah dijual oleh pemiliknya.

V.                Toponim berdasarkan nama situs
1.      Babon Aniem
Merupakan salah satu bangunan khas yang terkenal dari Kotagede. Merupakan gardu listrik yang terletak di pojok barat laut Pasar Kotagede. Bangunan ini didirikan pada yahun 1900an. Bangunan ini merupakan warisan dari perusahaan listrik Pemerintah Belanda yang bernama NV ANIEM (Algeemen Nederlands Indische Electriciteit Maatschappi).
2.      Ngejaman
Terletak beberapa meter di barat laut Pasar Kotagede. Disebut Ngejaman karena di tempat ini terdapat tugu yang dilengkapi jam, yang merupakan hadiah dari Kasunanan Surakarta era Pakubuwana X.
3.      Sendang Seliran
Merupakan tempat pemandian bagi keluarga keraton. Berada di dalam kompleks Masjid Besar Mataram. Terdapat 2 sendang, yaitu sendang kakung dan sendang putri.
4.      Hastarengga
Merupakan makam para bangsawan keturunan Sri Sultan Hamengkubuwana VII yang dibangun pada tahun 1930an. Terletak di Kampung Dalem, sebelah selatan Pasar Kotagede.
5.      Bokong Semar
Berada di selatan Pasar Kotagede. Struktur bangunan yang melengkung ini menjadikan masyarakat menyebutnya Bokong Semar.
6.      Jebolan Raden Rangga
Menurut cerita, bangunan yang sebenarnya merupakan bagian tembok cepuri bagian utara ini runtuh (jebol) karena ulah Randn Rangga, putra Panembahan Senapati. Situs ini berada di sebelah selatan Pasar Kotagede.
7.      Baluwarti
Baluwarti merupakan sisa benteng luar Keraton Mataram. Sebagai ibukota Mataram, Kotagede dilengkapi dengan 3 benteng yang mengelilingi wilayahnya. Benteng lapis pertama disebut cepuri, benteng lapis kedua dinamakan baluwarti atau benteng kota, sedangkan benteng ketiga disebut benteng negara. Di sekeliling benteng juga dilengkapi dengan jagang atau parit, sehingga Kotagede sangat aman dari ancaman musuh. Bahkan sejarawan dari Eropa yaitu Raffles, Lors dan De Graaf menganggap wajar Kotagede disebut dengan Kota benteng atau kota Bacingah.

VI.             Toponim lain-lain
1.      Tegalgendu
Merupakan kampung yang terletak di sebelah barat Sungai Gajahwong. Asal mula nama Teglagendu sendiri ada beberapa versi, diantaranya adalah jaman dahulu ketika Ki Ageng Mangir akan menghadap Panembahan Senapati dan melewati daerah ini yang masih berbentuk tegalan, hati Ki Ageng Mangir menjadi ragu-ragu atau gendha-gendhu. Versi lainnya mengatakan bahwa nama ini diambil karena daerah ini merupakan tempat tinggal orang-orang kaya atau wong mblegendhu.
Kampung Tegalgendu sangat identik dengan orang-orang Kalang, yaitu para pedagang dan saudagar kaya yang memiliki banyak sekali harta benda dan rumah yang megah. Salah satu oang Kalang yang terkenal dengan sebutan Raja Berlian dari Jawa bernama Ki Prawiro Suwarno Tembong. Tragedi perampokan juga pernah menimpa keluarga Tembong tersebut. Perampokan yang dilakukan dalam jumlah besar tersebut mengambil uang dan perhiasan serta puluhan batang emas murni dan tidak diketahui siapa pelakunya. Dan anehnya, beberapa saat setelah perampokan muncul perilaku aneh dari sebagian penduduk Kotagede yang secara tiba-tiba berlaku boros, berlebih-lebihan dan menggunakan barang-barang mewah.
Banyak pula penduduk yang mulai mempunyai usaha kerajinan dan lain-lain. Banyak yang percaya bahwa usaha tersebut juga berasal dari uang curian. Sampai sekarang bekas kejayaan orang Kalang masih dapat dinikmati. Antara lain arsitektur khas dan rumah peninggalan orang Kalang yang sekarang banyak dimanfaatkan sebagai toko perak dan restoran mewah.
2.      Jurang Bodon
Berada persis di sebelah barat Sungai Gajahwong dan merupakan salah satu bentuk pertahanan alam Mataram. Fungsinya hampir sama dengan jagang yang ada di kawasan Kotagede. Sekarang sudah banyak mesyarakat yang berprofesi sebagai pengrajin perak di kampung ini.
3.      Pos Malang
Merupakan sebuah bangunan menyerupai pos (tempat penjagaan) yang melintang di tengah jalan Soka. Jalan Soka dibangun oleh Paku Buwana X. Keberadaan pos ini merupakan bagian dari rute Soka-Pos Malang-Ndalem Tumenggungan Mertoloyo dan dijaga oleh opas/ petugas keamanan.
4.      Buk Ndhekem
Terletak di sebelah selatan Pos Malang. Disebut Buk Ndhekem karena dulu terdapat buk atau semacam jembatan kecil yang melintang di atas gorong-gorong saluran pembuangan air hujan menuju sungai Gajahwong.
5.      Sarwage
Sarwage merupakan singkatan dari Pasar Wage. Pasar ini merupakan pasar hewan yang terletak di Jalan Kemasan, yang sekarang sudah menjadi komplesk Puskesmas dan Koramil Kotagede.
6.      Masjid Perak
Merupakan masjid tertua kedua di Kotagede setelah Masjid Besar Mataram. Masjid ini terletak di barat laut Pasar Kotagede dan menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah di Kotagede.
7.      Padas Temanten
Terletak di kawasan Sungai Gajahwong. Situs ini sebenarnya merupakan padas yang bertonjolan di sungai. Tentu saja dengan dibumbui legenda bahwa dahulu pernah ada sepasang pengantin yang bunuh diri di tempat itu. Sekarang situs itu sudah tidak ada lagi karena terbawa arus air.
8.      Between Two Gates
Diartikan dalam bahasa Indonesia “Diantara dua gerbang”, maksudnya adalah sebuah kompleks kampung di Kotagede yang mempunyai pintu masuk dan jalur yag membelah kampung. Pemukiman ini sudah ada sejak tahun 1840. Di dalam kawasan tersebut banyak terdapat rumah joglo dan rumah bergaya tradisional lainnya.
9.      Gumuk
Berada di sebelah timur Kotagede. Daerah ini berada di pinggir jagang sehingga tampak seperti gumuk atau gundukan tanah. Pada tahun 1960an, daerah ini terkenal sebagai tempat mangkal para wanita nakal.
10.  Rejowinangun
Merupakan daerah paling utara di Kotagede. Rejowinangun dahulu merupakan nama pesangrahan yang dibangun oleh Sri Sultan Hamengkubuwana II yang berasal dari kata Rejo (subur dan baik) dan Winangun (dibangun untuk lebih maju). Sampai sekarang masih ada sedikit sisa benteng pesanggrahan yang letaknya di sebelah timur SD Rejowinangun I. Di daerah ini sekarang terdapat Masjid Al-Fatah yang dulunya merupakan rumah tahanan jaman Belanda dan Jepang yang kumuh dan angker.
11.  Semoyan
Terletak di barat daya Pasar Kotagede, atau di sebelah barat Kampung Dalem. Yang sangat terkenal di kampung ini adalah banyaknya makam atau kuburan. Disini terdapat 3 kompleks makam yang mengepung kampung, salah satunya merupakan sebuah makam terbesar dan terpanjang di Kotagede. Banyak mitos yang berkembang di kampung ini karena terkenal dengan keangkerannya. Salah satunya adalah kepercayaan untuk mencari kekuatan dan kesaktian dengan menyembelih gagak di tengah kuburan pada waktu tengah malam. Selain itu, kuliner khas kampung Semoyan adalah peyek kedelai hitam dan terkenal dengan Orkes Bang-Bung.
12.  Karang
Merupakan sebuah kampung yang terletak di kelurahan Prenggan. Di kampung ini terdapat Lapangan Karang yang biasa digunakan untuk kegiatan publik, seperti berolahraga, sampai kegiatan Sholat Idul Fitri & Idul Adha. Lapangan karang merupakan satu-satunya lapangan yang masih tersisa di Kotagede sampai sekarang ini. Di malam hari, lapangan ini akan tampak ramai oleh orang-orang yang berjualan makanan dan warung lesehan.
Kampun Karang sendiri terpisah menjadi 2 karena dilalui jalan Nyi Pembayun. Di sebelah barat jalan kini terdapat Pondok Pesantren dan kompleks masjid Mu’adz bin Jabal. Di daerah tersebut juga terdapat SD Karangsari dan SD Karangmulyo yang dibangun ketika masa orde baru. sekarang kedua SD Inpres tersebut bergabung menjadi satu dengan nama SD Negeri Karangmulyo. Di sisi jalan Nyi Pembayun sebelah barat juga dapat ditemui sebuah kompleks makam yang bernama Kuburan Manuk Beri. Nama ini diambil berdasarkan adanya patung burung Beri di depannya. Makam bergaya Romawi ini merupakan makam milik keluarga raja dagang Kotagede jaman dahulu, yaitu keluarga Bahuwinangun.

VII.          Kesimpulan
Toponim daerah-daerah di Kotagede ini masih banyak dipakai sampai sekarang. Meskipun seperti yang kita tahu bahwa vegetasi, tokoh maupun profesi yang dahulu menjadi ciri kampung tersebut tidak lagi ada di kampung tersebut. Bila dilihat di tulisan ini, nama kampung di Kotagede sangat banyak. Namun tidak banyak orang yang tahu dimana batas-batas kawasan tersebut. Karena memang jarak antar  kampung tidak jauh. Bahkan beberapa kawasan merupakan bagian dari kawasan lainnya yang memiliki nama yang berlainan.
Karena keterbatasan data dan pengetahuan penulis, tidak semua Toponim daerah Kotagede dapat dijabarkan secara terperinci. Harapannya, masyarakat pada umumnya dan pemuda Kotagede pada khususnya dapat mengerti apa arti dan asal muasal nama tempat tinggal mereka sendiri. Agar nilai historis suatu tempat tidak hilang begitu saja seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Untuk langkah lebih lanjut, diharapkan masyarakat bisa melestarikan budaya yang baik khas dari kampung masing-masing.

  
Daftar Pustaka
Nakamura, Mitsuo. 1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Soekiman, Djoko. 1993. Kotagede. Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Jakarta.
Wibowo, Erwito dkk. 2011. Toponim Kotagede, Asal Muasal Nama Tempat. Yogyakarta : Rekompak, Kementrian PU Direktorat Jenderal Cipta Karya, Java Reconstruction Fund, Forum Joglo.
Adrisijanti, Inajati. Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya  Potensi dan Permasalahannya dalam diskusi “Kota dan Perubahan Sosial dalarn Perspektif Sejarah yang diselenggarakan oleh  Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta. 11 -12 April 2007
Diunduh dari http://www.tembi.org/situs-prev/kotagede.htm. Diunduh pada 13 Januari 2012 pukul 22.45
Diunduh dari  http://kotagedeheritage.com/index.php/2011-03-08-02-46-05.html Diunduh pada 13 Januari 2012 pukul 22.45
Diunduh dari  www.bakosurtanal.go.id/bakosurtanal/.../Artikel.../Arti%20 nama.pdf  Diunduh pada 13 Januari 2012 pukul 22.45


[1] Mitsuo Nakamura. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Halaman 20