Unsur
topografi/geografi disebut toponim (dalam bahasa Inggris: toponym; nym = nama).
Nama diri dalam bahasa Inggris dapat disebut dengan place names atau geographical
names. Ilmu pengetahuan yang mempunyai objek studi tentang toponim pada
umumnya dan nama-nama geografis khususnya disebut toponimi (toponymy). Istilah
toponim, atau toponym dalam bahasa
asing pertama kali muncul dalam bahasa Inggris pada tahun 1876. Pada saat itu
Inggris dibawah pemerintahan Ratu Victoria sedang memperluas wilayahnya dengan
membentangkan jajahan ke berbagai penjuru dunia. Wilayah-wilayah baru yang
menjadi jajahan Kerajaan Inggris
tersebut kemudian perlu diberi nama sebagai identitas.
Kotagede
sendiri dibangun sebagai ibukota Kerajaan Mataram pada masa Ki Ageng Pemanahan
beserta putranya, Panembahan Senopati. Nama Kotagede sendiri tadinya dikenal
dengan nama “Kutha Gedhe” dalam
bahasa Jawa kasar (Ngoko) atau “Kitha
Ageng” dalam Bahasa Jawa Halus (Kromo), keduanya berarti “kota besar”, atau dengan nama lainnya, “Pasar Gedhe” dalam Bahasa Jawa kasar,
seiring selanjutnya disingkat sebagai “Sargedhe”.
Kotagede sejak awal juga berkembang sebagai pusat perdagangan dan industri
pribumi yang melayani daerah yang luas di Jawa tengah dan Jawa Timur.
I.
Toponim
Catur Gatra Tunggal
Konsep Catur Gatra
Tunggal merupakan sebuah konsep tata kota yang unik. Catur Gatra Tunggal
merupakan konsep yang banyak kita temui di berbagai kota, terutama kota yang
memiliki keraton maupun bekas kerajaan-kerajaan di Jawa jaman dahulu. Konsep
ini kadang disebut juga dengan civic
center yang berarti bagian dari kota yang secara spasial menjadi pusat bagi berbagai macam kegiatan
rnasyarakat penghuninya (Kostof, 1992 :
80-810).
Konsep ini menempatkan
4 bangunan pokok dalam suatu kota yaitu keraton sebagai tempat tinggal Raja,
pasar sebagai pusat perekonomian masyarakat, alun-alun sebagai ruang publik
tempat berinteraksi Raja dan masyarakat maupun sebagai tempat untuk acara-acara
yang diselenggarakan Raja untuk masyarakat, serta masjid sebagai tempat
beribadah. Keempat tempat ini merupakan cerminan dari aspek-aspek yang harus
ada di dalam sebuah kota. Yaitu politik, ekonomi, sosial dan spiritual.
Dalam filosofi Jawa, 4
tempat ini menjadi satu kesatuan yang harus ada dalam sebuah kota. Situs-situs
tersebut merupakan tempat yang berdiri sendiri (terpisah) satu sama lainnya,
namun dihubungkan dengan jalanan maupun koridor-koridor. Oleh karena itu konsep
ini disebut dengan Catur Gatra Tunggal.
Wilayah
Kotagede yang dibangun kurang lebih 400 tahun yang lalu, sekitar abad ke-16
juga menganut sistem tata kota ini. 4 tempat ini menempati 4 penjuru mata angin. Yaitu alun-alun di
sebelah timur (tengah) , pasar di utara, masjid di barat, dan keraton di
sebelah selatan. Penataan ini sama persis seperti yang ada di keraton
Ngayogyakarta. Di sekitar area tersebut kemudian banyak terdapat pemukiman
penduduk. Kawasan ini disebut juga dengan kawasan urban karena menjadi pusat
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat.
1.
Pasar Kotagede
Lokasi Pasar Kotagede
sekarang diperkirakan sama dengan lokasinya pada jaman Mataram dulu. Ketika
Sutawijaya pertama kali membuka lahan hutan Mentaok (Alas Mentaok), yang
pertama kali dibangun adalah pasar. Ini merupakan langkah yang sangat tepat
karena pasar merupakan pusat perekonomian. Dengan adanya pasar yang besar dan
ramai, roda perekonomian mulai berputar dan lama-kelamaan banyak orang yang
mendiami kota tersebut.
Pada
mulanya, pasar Kotagede disebut dengan “Sargedhe” yang merupakan singkatan dari
“Pasar gedhe”. Pasar ini juga merupakan tempat Panembahan dilantik dengan gelar
Kyai Gedhe Matarem (Raffles 1817 (1965): II: 142). Susunan Kotagede sekarang
memang tidak berpusat di keraton, namun di Pasar. Bukan hanya sekedar menjadi
bangunan dengan fisik besar di tengah Kotagede, namun karena adanya pasar
inilah Kotagede ramai didatangi orang terutama pada saat hari “pasaran”. Hari
pasaran Pasar Kotagede jatuh pada pasaran Legi, mingguan Jawa dengan perputaran
5 hari setiap minggunya. Ketika hari pasaran, Pasar Kotagede penuh dengan
kerumunan manusia yang ingin membeli barang-barang yang hanya ada setiap
pasaran maupun hanya sekedar berjalan-jalan. Karena ketika hari pasaran tiba,
banyak penjual yang datang dari berbagai daerah untuk menjual barang yang pada
hari biasa jarang ditemui di Pasar Kotagede.
2.
Dalem Keraton
Sekarang menjadi sebuah
kampung yang bernama Dalem. Terletak di sebelah selatan Pasar Kotagede. Kampung
ini berada di dalam bekas cepuri Keraton Mataram. Dahulu Keraton Mataram
dikelilingi oleh jagang atau parit
yang berada di bagian barat, timur dan selatan. Sampai saat ini masih bisa
terlihat sisa-sisa parit yang berupa kontur tanah yang agak menurun di
sekeliling kampung Dalem ini.
Banyak
sekali situs yang sampai sekarang masih ada di kampung ini. Mengingat kampung
ini bekas Keraton Mataram. Antara lain situs “Benteng Jebolan Raden Rangga”
yang merupakan bagian tembok cepuri di bagian utara yang konon dahulu dijebol oleh Raden Rangga, situs “Bokong
Semar”, makam Nyai Melati dan Kompleks Watu Gilang serta Kompleks makam
Hastarengga. Sampai saat ini masih ada area yang disebut dengan “Siti Sangar”
yang merupakan area bekas bangunan keraton. Dan masyarakat di kampun ini tidak
ada yang berani memakai tanah tersebut untuk dibangun. Entah karena rasa takut
terhadap sakralnya area tersebut atau rasa hormat terhadap keraton.
3 .
Masjid Besar Mataram
Pertama kali dibangun
tahun 1587 oleh Panembahan Senopati. Angka tahun yang sama juga tertera pada kelir gapura masjid. Masjid ini
merupakan ikon besar Kotagede sebagai mantan pusat pemerintahan kerajaan
Mataram Islam jaman dahulu. Mahkota atau mustaka
masjid terbuat dari tembaga dan mempunyai ciri khas masjid keprabon atau
kerajaan. Bangunan yang berada satu kompleks dengan Pasareyan Panembahan Senopati dan juga sendang Seliran ini
dikelilingi oleh tembok bata yang tingginya mencapai 2,5 meter. Di sekeliling
masjid juga terdapat beberapa pohon beringin besar yang disakralkan oleh
masyarakat setempat.
4.
Alun-alun
Lokasinya berada di
sebelah selatan Pasar Kotagede dan di sebelah timur Masjid Besar Mataram.
Daerah ini dulunya diperkirakan menjadi alun-alun Mataram. Namun sekarang sudah
tidak dapat ditemui adanya tanah lapang di daerah ini. Kampung alun-alun
menjadi pemukiman padat penduduk dengan gang-gang sempit.
II.
Toponim
berdasarkan nama tokoh
1.
Bumen
Terletak di sebelah
barat daya Pasar Kotagede. Kampung Bumen diambil dari nama Mangkubumen, yang
artinya tempat kediaman Pangeran Mangkubumi. Di kampung ini masih terdapat
tembok bekas kediaman Pangeran Mangkubumi tersebut. Di era 60-an, kampung ini
terkenal sebagai sentra industri barang-barang yang berasal dari kaleng atau blek. Di masa kejayaannya, masyarakat
memiliki koperasi yang bernama KPKB
yaitu Koperasi Pengusaha Blek Kotagede yang sekarang hanya tinggal nama saja.
Di
bidang kuliner, terdapat makanan khas yaitu Roti Kembang Waru yang pembuatannya
masih dengan cara tradisional. Paguyuban koperasi Kembang Waru ini bernama
Purba Arum yang masih bertahan sampai saat ini. Kesenian yang khas di kampung
Bumen ini adalah kesenian Srandul (semacam ketoprak yang disertai dengan
tari-tarian dan iringan musik gamelan), macapat, sholawatan dan karaawitan yang
masih eksis sampai sekarang. Tradisi unik lainnya adalah tradisi ngarak Gendruwo saat peringatan HUT
Republik Indonesia.
2.
Joyopranan
Merupakan
kampung tertua di Kotagede yang terletak di sebelah tenggara Alun-alun. Dahulu
kampung ini merupakan kediaman Pangeran Jayaprana, seorang bangsawan di masa
Panembahan Senapati. Sebenarnya dahulu Pangeran Jayaprana tinggal di hutan
Mentaok. Namun karena tempat tersebut akan digunakan oleh Ki Ageng Pemanahan,
ia diminta untuk pergi. Pangeran Jayaprana bersedia untuk meninggalkan tempat
tersebut asalkan Ki Ageng Pemanahan mampu menggendongnya pergi. Akhirnya Ki
Ageng Pemanahan hanya mampu menggendong Pangeran Jayaprana sampai di suatu
tempat yang kemudian menjadi kediamannya dan dinamakan Jayapranan.
3.
Purbayan
Kampung
ini tepatnya terletak di sebelah selatan Kampung Bumen. Bersal dari kata
Purbaya, maksudnya adalah kediaman Pangeran Purbaya, anak ketiga Panembahan
Senapati. Dahulu daerah ini masih banyak terdapat lapangan dan pekarangan yang
luas. Namun saat ini sudah menjadi pemukiman padat penduduk. Di kampung ini
terdapat kesenian Shalawatan Maulid yang bernama Marsudi Kabudayan
(Markabayan). Shalawat Maulid ini biasanya dilantunkan ketika peringatan maulid
Nabi Muhammad.
4.
Gedongan
Berasal dari kata
Gendong, yang merupakan nama seorang tokoh di jaman Mataram, yaitu Kiai Gedong.
Ia diberi nama Kiai Gedong karena ia adalah seorang abdi dalem keraton yang
bertugas menjaga gedong pusaka Keraton. Ketika muncul peperangan Pajang dan
Mataram, Kiai Gedong yang sebenarnya adalah orang Pajang berpihak kepada
Mataram dengan menyelundupkan senjata untuk prajurit Mataram. Karena
perilakunya, ia ditangkap oleh Kerajaan Pajang dan dihukum mati. Jasadnya
kemudian dimakamkan di wilayah Gedongan.
Kesenian
kampung ini salah satunya dalah Kethoprak Tobong. Disebut Kethoprak Tobong
karena bangunan tempat pertunjukan tersebut dibuat dengan bambu yang beratapkan
rumbia. Dari beberapa paguyuban Kethoprak Tobong yang berjaya tahun 70-an, kini
kesenian tersebut sudah hilang tergerus teknologi modern.
5.
Singosaren
Teretak
di sebelah selatan Pasar Kotegede. Dahulu merupakan kediaman Pangeran
Singosari, saudara kandung Panembahan Senapati. Di daerah ini terdapat makam srati kuda bernama Kiai Gamel yang
merupakan pekathik kerajaan di jaman
keraton Mataram.
6.
Mondorakan/ Darakan
Nama
ini diambil dari nama Patih Mandaraka yang konon dahulu pernah tinggal di
daerah ini. Kampung ini terletak di barat daya Pasar Kotagede. Di daerah ini
dulunya sangat terkenal dengan aneka kuliner makanan tradisional. Tahun 60-70an
banyak terdapat makanan yang digemari oleh masyarakat sekitar. Antara lain
yaitu Bikan buatan Kato Punjul, jenang nangka & jangkring, dan kipa. Yang
masih bertahan hingga saat ini hanyalah kipa yang terbuat dari bahan ketan dan
santan, dan di dalamnya terdapat enten-enten (parutan kelapa dicampur gula
jawa). Di daerah ini juga terdapat makam Prof. Dr. HM Rasyidi, mantan Mentri
Agama pertama Republik Indonesia.
7.
Prenggan
Terletak
di barat laut Pasar Kotagede. Ada yang mengatakan bahwa Prenggan merupakan
daerah bekas kediaman Raden Rangga yang disebut dengan pa-rangga-an, atau
dibaca Prenggan. Pada tahun 70-an, Kyai Asyhari mulai merintis Pondok Pesantren
Nurul Ummah yang sekarang semakin berkembang dengan baik.
8.
Bodon
Berada di sebelah barat
Pasar Kotagede, tepatnya di sebelah selatan Kampun Darakan. Tempat ini dahulu
merupakan kediaman Panembahan Bodo, yang sebenarnya bernama Raden Trenggana.
Disebut bodo atau bodoh karena menolak tawaran menjadi seorang adipati di
daerah Terung dan malah memilih menyepi sebagai penyebar agama Islam di daerah
Bantul. Daerah ini sekarang menjadi wilayah padat penduduk dan memiliki
gang-gang sempit yang hanya bisa dilalui kendaraan kecil saja.
9.
Celenan
Daerah
ini diambil dari nama seorang tokoh yang bernama Kiai Cilen. Di daerah ini
masih banyak ditemui rumah-rumah besar bergaya Eropa yang dulunya milik
saudagar dan raja dagang Kotagede. Bangunan-bangunan tersebut memiliki
pilar-pilar besar, dinding tinggi, jendela dan pintu yang besar. Rumah-rumah
tersebut antara lain milik Rudi Pesik dan Dr. Rasyidi. Disini juga dapat
ditemui bangunan sisa peninggalan Islam yaitu Langgar Dhuwur. Bangunan milik
keluarga Dalhar Anwar ini dahulu digunakan sebagai tempat beribadah agama
Islam.
10.
Basen
Berada
di sebelah utara Kampung Bumen, atau timur laut dai Pasar Kotagede. Kampung ini
dahulu merupakan tempat persembunyian Kyai Basah Prawirodirdjo, seorang
pengikut setia Pangeran Diponegoro.
Maka, dalam perkembangannya kampung ini disebut dengan Basen. Nama Basen juga
digunakan sebagai nama stasiun yang sekarang telah menjadi bangunan SMP Negeri
9 Yogyakarta yang sebenarnya terletak di kampung Tinalan.
11.
Trunojayan
Terletak
di sebelah barat laut Pasar Kotagede. Nama Trunojayan seringkali dikaitkan
dengan Trunojoyo, seorang bangsawan asal Madura yang menjadi musuh besar
Amangkurat I. Namun pendapat ini dirasa kurang tepat karena Trunojoyo hidup di
jaman Kerajaan Mataram sudah memindahkan pusat pemerintahannya di Plered.
Pendapat lain mengemukakan bahwa asal nama Trunojayan adalah dari Kyai Taruno
Ijoyo, seorang pengikut setia Pangeran Diponegoro yang menetap di daerah ini.
12.
Sopingen
Merupakan
sebuah kompleks tempat tinggal yang dulunya milik Raden Amatdalem Sopingi.
Terletak di barat laut Pasar Kotagede. Di era 1900-1980, pendapa Sopingen
menjadi sebuah ruang publik yang digunakan untuk pertunjukan kesenian dan
politik. Pada masa kebangkitan nasional ntahun 1908, pendapa ini juga digunakan
sebagai tempat rapat propaganda organisasi pergerakan nasional. Tanggal 14
Desember 1924 tempat ini digunaan untuk rapat umum PKI yang hampir menimbulkan
konflik antara PKI dan Muhammadiyah yang mencoba menghalang-halangi PKI.
13.
Dolahan
Kampung
ini berada di sebelah timur Pasar Kotagede. Dahulu merupakan tempat tinggal
Kyai Amin Abdullah. Kampung ini memiliki sebuah mitos yang disebut dengan tumpes kelor yang sering dipahami
sebagai malapetaka karena melanggar suatu pantangan. Beberapa tahun terakhir
kampung ini juga dikenal dengan kampung festival karena beberapa kali menjadi
tempat diselenggarakannya berbagai festival.Antara lain tahun 2002
diselenggarakannya festival Makanan Tradisional yang bekerjasama dengan Dinas
Pariwisata & Seni Budaya, tahun 2009 kampung ini menerima tamu dari kawasan
Asia-Pasifik dalam acara International
Summer Student Program for a Better Understanding Among Nations, dan 2010
juga menerima kunjungan tamu peserta The
Role of African and for a Sustainable World 55 Years after Bandung Asia-Africa
Conference yang dibawa oleh Darwis Khudori, seorang penduduk Kotagede yang
telah lama tinggal dan menetap di Perancis.
14.
Boharen
Berbatasan dengan
Kampung Dolahan di sebelah utara, kampung ini diambil dari nama seprang tokoh
yang bernama Kyai Bukhari. Beliau adalah seorang ulama yang khusus mengkaji
hadits-hadits riwayat Bukhari. Di kampung ini juga terdapat dua langgar dhuwur. Salah satunya pernah
digunakan untuk shooting film Sang
Pencerah yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo.
III.
Toponim
berdasarkan nama tumbuhan/ vegetasi
Penamaan daerah
berdasarkan nama tumbuhan dan vegetasi ini biasanya hanya didasarkan tumbuhan
khas atau pohon besar yang dulu terdapat di tempat itu. Untuk memudahkan
masyarakat yang tinggal di daerah itu, maka biasanya orang-orang akan menamai
sebuah daerah berdasarkan apa yang ada di tempat tersebut. Walaupun sekarang
tidak lagi dapat ditemui tumbuhan yang menjadi ciri khas kampung tersebut,
namun namanya masih abadi. Contohnya yaitu :
1.
Patalan
Kampung ini berada di
sebelah utara Pasar Kotagede. Sebutan Patalan berasal dari pohon Tal, nama lain
dari pohon lontar.
2.
Kanthil
Kanthil merupakan
sebuah kawasan yang masih termasuk dalam Kampung Trunojayan. Disebut kawasan
Kanthil karena pada jaman dahulu memang banyak pohon Kanthil disitu. Ada sebuah
rumah yang disebut dengan rumah Kanthil, milik Karto Jalal, seorang saudagar batik
kaya di Kotagede. Rumah yang lengkap dengan pendoponya ini sekarang hanya
tinggal nama. Bangunan rumahnya memang masih ada namun dibiarkan kosong
sehinggaa terkesan angker. Di rumah ini dahulu juga pernah menjadi tempat
shooting Dunia Lain.
3.
Kleco
Terletak di sebelah
timur Lapangan Karang Kotagede. Dahulu terdapat pohon Kleco di daerah ini.
4.
Ngelo
Di daerah ini pernah
tumbuh pohon Elo. Merupakan bagian dari bangunan cekdam Mrican yang terletak di
sebelah barat daya Mrican.
5.
Ngori
Merupakan nama kawasan
di sepanjang Jalan Purbayan yang memisahkan kampung Purbayan dan
kampung-kampung di sebelah baratnya. Dinamai Ngori karena dulu di sepanjang
jalan ini banyak tumbuh pohon Bambu Ori, yang sebenarnya adalah Bambu Apus.
Namun masyarakat sudah terlanjur menganggapnya pohon Ori.
6.
Jagungan
Dahulu merupakan
kawasan kebun jagung dan pernah ada sebuah panggung kesenian yang biasa
digunakan oleh golongan PKI.
IV.
Toponim
berdasarkan nama profesi
1.
Pekaten
Sebuah kampung yang
terletak tepat di utara Pasar Kotagede. Dahulu merupakan tempat tinggal pada
abdi dalem yang menjadi pekathik
kuda. Kini kawasan ini banyak terdapat pertokoan yang berjajar di sepanjang
jalan. Kesenian kampung ini adalah Ledhek
Gogik.
2.
Pandeyan
Berada persis di
sebelah timur Pasar Kotagede. Kawasan ini dahulu menjadi tempat tinggal pada pande besi atau pembuat alat-alat dari
besi sehingga disebut dengan kampung Pandeyan.
3.
Mranggen
Berasal dari mranggi yang berarti pembuat hiasan dan
ornamen berupa ukiran kecil di keris dan tombak. Namun sekarang sudah tidak ada
warga yang berprofesi sebagai pembuat hiasan dan sarung keris.
4.
Sayangan
Daerah ini dinamakan
Sayangan karena dulu menjadi tempat tinggal para abdi dalem sayang. Yaitu orang-orang yang memiliki
keaahlian membuat barang-barang dari tembaga. Menjadi tempat cikal bakal
pengolahan Yangko di Kotagede dan terdapat pembuat rokok industri romah tangga
dengan merk Cap Kaki Tiga yang sekarang sudah tidak ada lagi.
5.
Jagalan
Berada di barat daya
Pasar Kotagede. Seperti namanya, Jagalan berasal dari kata jagal. Karena jaman
dulu di daerah ini merupakan tampat para abdi dalem yang tugasnya menjagal
hewan yang akan digunakan di keraton.
6.
Kemasan
Nama ini diambil karena
dulu penduduknya menjadi pengrajin perhiasan emas. Walaupun begitu, sekarang
nama Kemasan terkenal dengan soto-nya yang khas. Dan sekarang di daerah ini
sudah jarang ditemui pengrajin emas.
7.
Ngerikan
Dahulu menjadi tempat
penjemuran kain batik yan sedang diproses. Dan ketika dijemur, banyak orang
yang mengerik atau menghilangkan lapisan lilin di kain batik tersebut.
Ironisnya, sekarang sudah tidak dapat ditemui kegiatan tersebut. Bahkan
alat-alatnya sudah dijual oleh pemiliknya.
V.
Toponim
berdasarkan nama situs
1.
Babon Aniem
Merupakan salah satu
bangunan khas yang terkenal dari Kotagede. Merupakan gardu listrik yang
terletak di pojok barat laut Pasar Kotagede. Bangunan ini didirikan pada yahun
1900an. Bangunan ini merupakan warisan dari perusahaan listrik Pemerintah
Belanda yang bernama NV ANIEM (Algeemen
Nederlands Indische Electriciteit Maatschappi).
2.
Ngejaman
Terletak beberapa meter
di barat laut Pasar Kotagede. Disebut Ngejaman karena di tempat ini terdapat
tugu yang dilengkapi jam, yang merupakan hadiah dari Kasunanan Surakarta era
Pakubuwana X.
3.
Sendang Seliran
Merupakan tempat
pemandian bagi keluarga keraton. Berada di dalam kompleks Masjid Besar Mataram.
Terdapat 2 sendang, yaitu sendang kakung dan
sendang putri.
4.
Hastarengga
Merupakan makam para bangsawan
keturunan Sri Sultan Hamengkubuwana VII yang dibangun pada tahun 1930an.
Terletak di Kampung Dalem, sebelah selatan Pasar Kotagede.
5.
Bokong Semar
Berada di selatan Pasar
Kotagede. Struktur bangunan yang melengkung ini menjadikan masyarakat menyebutnya
Bokong Semar.
6.
Jebolan Raden Rangga
Menurut cerita,
bangunan yang sebenarnya merupakan bagian tembok cepuri bagian utara ini runtuh
(jebol) karena ulah Randn Rangga,
putra Panembahan Senapati. Situs ini berada di sebelah selatan Pasar Kotagede.
7.
Baluwarti
Baluwarti merupakan
sisa benteng luar Keraton Mataram. Sebagai ibukota Mataram, Kotagede dilengkapi
dengan 3 benteng yang mengelilingi wilayahnya. Benteng lapis pertama disebut cepuri, benteng lapis kedua dinamakan baluwarti atau benteng kota, sedangkan
benteng ketiga disebut benteng negara. Di sekeliling benteng juga dilengkapi
dengan jagang atau parit, sehingga
Kotagede sangat aman dari ancaman musuh. Bahkan sejarawan dari Eropa yaitu
Raffles, Lors dan De Graaf menganggap wajar Kotagede disebut dengan Kota
benteng atau kota Bacingah.
VI.
Toponim
lain-lain
1.
Tegalgendu
Merupakan kampung yang
terletak di sebelah barat Sungai Gajahwong. Asal mula nama Teglagendu sendiri
ada beberapa versi, diantaranya adalah jaman dahulu ketika Ki Ageng Mangir akan
menghadap Panembahan Senapati dan melewati daerah ini yang masih berbentuk
tegalan, hati Ki Ageng Mangir menjadi ragu-ragu atau gendha-gendhu. Versi lainnya mengatakan bahwa nama ini diambil
karena daerah ini merupakan tempat tinggal orang-orang kaya atau wong mblegendhu.
Kampung Tegalgendu
sangat identik dengan orang-orang Kalang, yaitu para pedagang dan saudagar kaya
yang memiliki banyak sekali harta benda dan rumah yang megah. Salah satu oang
Kalang yang terkenal dengan sebutan Raja Berlian dari Jawa bernama Ki Prawiro
Suwarno Tembong. Tragedi perampokan juga pernah menimpa keluarga Tembong
tersebut. Perampokan yang dilakukan dalam jumlah besar tersebut mengambil uang
dan perhiasan serta puluhan batang emas murni dan tidak diketahui siapa
pelakunya. Dan anehnya, beberapa saat setelah perampokan muncul perilaku aneh
dari sebagian penduduk Kotagede yang secara tiba-tiba berlaku boros, berlebih-lebihan
dan menggunakan barang-barang mewah.
Banyak pula penduduk
yang mulai mempunyai usaha kerajinan dan lain-lain. Banyak yang percaya bahwa
usaha tersebut juga berasal dari uang curian. Sampai sekarang bekas kejayaan
orang Kalang masih dapat dinikmati. Antara lain arsitektur khas dan rumah
peninggalan orang Kalang yang sekarang banyak dimanfaatkan sebagai toko perak
dan restoran mewah.
2.
Jurang Bodon
Berada persis di
sebelah barat Sungai Gajahwong dan merupakan salah satu bentuk pertahanan alam
Mataram. Fungsinya hampir sama dengan jagang
yang ada di kawasan Kotagede. Sekarang sudah banyak mesyarakat yang berprofesi
sebagai pengrajin perak di kampung ini.
3.
Pos Malang
Merupakan sebuah
bangunan menyerupai pos (tempat penjagaan) yang melintang di tengah jalan Soka.
Jalan Soka dibangun oleh Paku Buwana X. Keberadaan pos ini merupakan bagian
dari rute Soka-Pos Malang-Ndalem Tumenggungan Mertoloyo dan dijaga oleh opas/
petugas keamanan.
4.
Buk Ndhekem
Terletak di sebelah
selatan Pos Malang. Disebut Buk Ndhekem
karena dulu terdapat buk atau semacam
jembatan kecil yang melintang di atas gorong-gorong saluran pembuangan air
hujan menuju sungai Gajahwong.
5.
Sarwage
Sarwage merupakan
singkatan dari Pasar Wage. Pasar ini merupakan pasar hewan yang terletak di
Jalan Kemasan, yang sekarang sudah menjadi komplesk Puskesmas dan Koramil
Kotagede.
6. Masjid
Perak
Merupakan
masjid tertua kedua di Kotagede setelah Masjid Besar Mataram. Masjid ini
terletak di barat laut Pasar Kotagede dan menjadi pusat kegiatan Muhammadiyah
di Kotagede.
7.
Padas Temanten
Terletak
di kawasan Sungai Gajahwong. Situs ini sebenarnya merupakan padas yang
bertonjolan di sungai. Tentu saja dengan dibumbui legenda bahwa dahulu pernah
ada sepasang pengantin yang bunuh diri di tempat itu. Sekarang situs itu sudah
tidak ada lagi karena terbawa arus air.
8.
Between Two Gates
Diartikan dalam bahasa
Indonesia “Diantara dua gerbang”, maksudnya adalah sebuah kompleks kampung di
Kotagede yang mempunyai pintu masuk dan jalur yag membelah kampung. Pemukiman
ini sudah ada sejak tahun 1840. Di dalam kawasan tersebut banyak terdapat rumah
joglo dan rumah bergaya tradisional lainnya.
9.
Gumuk
Berada di sebelah timur
Kotagede. Daerah ini berada di pinggir jagang
sehingga tampak seperti gumuk atau
gundukan tanah. Pada tahun 1960an, daerah ini terkenal sebagai tempat mangkal
para wanita nakal.
10.
Rejowinangun
Merupakan daerah paling
utara di Kotagede. Rejowinangun dahulu merupakan nama pesangrahan yang dibangun
oleh Sri Sultan Hamengkubuwana II yang berasal dari kata Rejo (subur dan baik)
dan Winangun (dibangun untuk lebih maju). Sampai sekarang masih ada sedikit
sisa benteng pesanggrahan yang letaknya di sebelah timur SD Rejowinangun I. Di
daerah ini sekarang terdapat Masjid Al-Fatah yang dulunya merupakan rumah
tahanan jaman Belanda dan Jepang yang kumuh dan angker.
11.
Semoyan
Terletak di barat daya
Pasar Kotagede, atau di sebelah barat Kampung Dalem. Yang sangat terkenal di
kampung ini adalah banyaknya makam atau kuburan. Disini terdapat 3 kompleks
makam yang mengepung kampung, salah satunya merupakan sebuah makam terbesar dan
terpanjang di Kotagede. Banyak mitos yang berkembang di kampung ini karena
terkenal dengan keangkerannya. Salah satunya adalah kepercayaan untuk mencari
kekuatan dan kesaktian dengan menyembelih gagak di tengah kuburan pada waktu
tengah malam. Selain itu, kuliner khas kampung Semoyan adalah peyek kedelai
hitam dan terkenal dengan Orkes Bang-Bung.
12.
Karang
Merupakan sebuah kampung
yang terletak di kelurahan Prenggan. Di kampung ini terdapat Lapangan Karang
yang biasa digunakan untuk kegiatan publik, seperti berolahraga, sampai kegiatan
Sholat Idul Fitri & Idul Adha. Lapangan karang merupakan satu-satunya
lapangan yang masih tersisa di Kotagede sampai sekarang ini. Di malam hari,
lapangan ini akan tampak ramai oleh orang-orang yang berjualan makanan dan
warung lesehan.
Kampun Karang sendiri
terpisah menjadi 2 karena dilalui jalan Nyi Pembayun. Di sebelah barat jalan
kini terdapat Pondok Pesantren dan kompleks masjid Mu’adz bin Jabal. Di daerah
tersebut juga terdapat SD Karangsari dan SD Karangmulyo yang dibangun ketika
masa orde baru. sekarang kedua SD Inpres tersebut bergabung menjadi satu dengan
nama SD Negeri Karangmulyo. Di sisi jalan Nyi Pembayun sebelah barat juga dapat
ditemui sebuah kompleks makam yang bernama Kuburan Manuk Beri. Nama ini diambil
berdasarkan adanya patung burung Beri di depannya. Makam bergaya Romawi ini
merupakan makam milik keluarga raja dagang Kotagede jaman dahulu, yaitu
keluarga Bahuwinangun.
VII.
Kesimpulan
Toponim daerah-daerah
di Kotagede ini masih banyak dipakai sampai sekarang. Meskipun seperti yang
kita tahu bahwa vegetasi, tokoh maupun profesi yang dahulu menjadi ciri kampung
tersebut tidak lagi ada di kampung tersebut. Bila dilihat di tulisan ini, nama
kampung di Kotagede sangat banyak. Namun tidak banyak orang yang tahu dimana
batas-batas kawasan tersebut. Karena memang jarak antar kampung tidak jauh. Bahkan beberapa kawasan
merupakan bagian dari kawasan lainnya yang memiliki nama yang berlainan.
Karena keterbatasan
data dan pengetahuan penulis, tidak semua Toponim daerah Kotagede dapat
dijabarkan secara terperinci. Harapannya, masyarakat pada umumnya dan pemuda
Kotagede pada khususnya dapat mengerti apa arti dan asal muasal nama tempat
tinggal mereka sendiri. Agar nilai historis suatu tempat tidak hilang begitu
saja seiring pesatnya pembangunan infrastruktur. Untuk langkah lebih lanjut,
diharapkan masyarakat bisa melestarikan budaya yang baik khas dari kampung
masing-masing.
Daftar
Pustaka
Nakamura, Mitsuo. 1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Soekiman, Djoko. 1993. Kotagede. Jakarta : Proyek Pengembangan Media Kebudayaan Jakarta.
Wibowo, Erwito dkk. 2011. Toponim Kotagede, Asal Muasal Nama Tempat. Yogyakarta : Rekompak,
Kementrian PU Direktorat Jenderal Cipta Karya, Java Reconstruction Fund, Forum Joglo.
Adrisijanti, Inajati. Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan Pusaka Budaya Potensi dan Permasalahannya dalam diskusi
“Kota dan Perubahan Sosial dalarn Perspektif Sejarah yang diselenggarakan
oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta. 11 -12 April 2007