I. Sejarah Surat Kabar Dunia
Sebelum mengenal tulisan, manusia
berkomunikasi menggunakan lisan. Sama halnya dalam berkomunikasi, manusia pada
zaman tersebut menyampaikan kabar ataupun pengumuman dari mulut ke mulut.
Setelah mengenal tulisan, manusia menyampaikan kabar melalui surat tertulis dan
papan pengumuman. Sebelum lahirnya suratkabar, ada dua jenis terbitan berita
periodik yaitu lembaran berita dengan tulisan tangan, dan lembaran pemberitaan
tunggal. Kedua media tersebut muncul bersamaan.
Pertama di awal kerajaan Romawi yang
diprakarsai oleh Raja Imam Agung. Papan pengumuman ini disebut “Annals” dan digantungkan di setiap
serambi rumah. Annals berfungsi
sebagai pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya. Saat
Julius Caesar berkuasa pada tahun 100-44 SM, ia memerintahkan agar kegiatan
setiap anggota senat dan hasil sidang diumumkan pada “Acta Diurna”, yang juga berisi tentang kejadian sehari-hari,
peraturan-peraturan penting, dan hal-hal yang perlu disampaikan dan diketahui
oleh rakyatnya. Acta Diurna dicetak
ke dalam sebongkah batu atau selembar logam, kemudian dipasang atau ditempelkan
di pusat kota yang disebut “Forum Romanum” (Stadion Romawi) untuk diketahui
umum.
Berita dari Acta Diurna diebarluaskan oleh para “Diurnanii”. Diurnarii adalah sebutan untuk
orang-orang yang bekerja membuat catatan dari hasil rapat senat setiap hari
untuk para tuan tanah dan hartawan. Kata jurnalistik secara harfiah berasal
dari Acta Diurna yaitu “Diurnal” yang dalam bahasa Latin
berarti “harian” atau “setiap hari”. Kemudian diadopsi ke dalam bahasa Perancis
menjadi “Du Jour” dan bahasa Inggris “Journal” yang berarti “hari”, “catatan
harian” atau “laporan”. Dan dari kata “Diunarii”
muncul kata “Diurnalis” atau “journalist” (wartawan).
Kemudian di Cina muncul lembaran berita
terbitan pemerintah yang disebut “Tching-pao”
atau King pau yang berarti kabar dari istana. King Pau beredar di kantor pengadilan
selama masa kekuasaan Dinasti Han. Pada tahun 713-734 M, Dinasti Tang
menerbitkan Kai Yuan Zan Bao yang
diwartakan oleh pejabat resmi pemerintahan. Kai
Yuan Zan Bao ditulis tangan pada sehelai kain sutra. Pada tahun 1351 M,
Kaisar Quang Soo mengedarkannya secara teratur secara seminggu sekali. Kemudian
pada tahun 1582 ditemukan surat kabar pertama yang diterbitkan oleh pihak
swasta asing di Beijing. Surat kabar tersebut dicetak pada sebidang kayu dan
dipublikasikan secara pribadi pada akhir masa pemerintahan Dinasti Ming.
Penyampaian informasi melalui surat
kabar didukung penemuan mesin cetak oleh Gutenberg pada tahun 1450. Salah satu
berita terbesar yang pertama kali diberitakan adalah pengumuman hasil ekspedisi
Christoper Columbus ke Benua Amerika pada tahun 1493. Pada tahun 1556, Pemerintah Venesia
menerbitkan Notizie Scritte yang
terbit bulanan dengan harga satu gazetta.
Media ini ditulis tangan dan berisi kumpulan berita yang digunakan untuk
menyampaikan berita politik, militer, dan ekonomi secara cepat dan efisien ke
seluruh Eropa, khususnya Italia.
Media-media tersebut tidak layak disebut
sebagai surat kabar karena tidak diperuntukkan untuk masyarakat umum dan
terbatas pada topik tertentu. Pada awal tahun 1600-an, penerbitan yang menjadi
cikal bakal surat kabar beredar di Inggris dan Perancis. Sebuah kumpulan berita
yang dikenal bernama “Relations” atau
“Relaciones” dalam bahasa Spanyol.
Media penyiaran berita umumnya dicetak dalam lembaran besar kemudian dipasang
di tempat umum. Terbitan tersebut menyerupai pamflet dan untuk berita yang
panjang berupa buku kecil ditambah dengan ilustrasi sederhana. Terbitan
tersebut sering dibacakan keras-keras karena rasio buta huruf yang tinggi.
Istilah surat kabar umum digunakan pada
abad ke-17. Namun, pada awal abad ke-16 muncul surat kabar seperti sekarang di
Jerman. Media tersebut dicetak, memiliki tanggal terbit, terbit teratur, dan
keragaman berita. Surat kabar pertama dikenal dengan nama Strasbourg Relation. Surat kabar Jerman diatur berdasarkan asal
penerbit, tanggal, dan memuat halaman muka yang menarik. Relation aller Fürnemmen und gedenckwürdigen Historien merupakan relation berbahasa Jerman yang diakui
sebagai surat kabar pertama. Tepatnya pada tahun 1605 Johann Carolus
menerbitkannya di kota Strasbourg. Surat kabar modern pertama Jerman dicetak di
Wolfenbüttel, dan disebut Avisa.
Pada tahun 1620 surat kabar berbahasa
Inggris pertama, Corrant dicetak di
Amsterdam dan diterbitkan di Italia dan Jerman. La Gazette yang semula bernama Gazette
de France adalah surat kabar pertama di Perancis yang terbit pada tahun
1631. Surat kabar berbahasa Spanyol pertama, Gaceta de Madrid terbit pada tahun 1661. Post-och Inrikes Tidnigar (semula bernama Ordinari Post Tijdender) diterbitkan di Swedia pertama kali pada
tahun 1645 dan menjadi surat kabar tertua yang masih terbit hingga saat ini
walaupun berbentuk online. Pada tahun
1656 diterbitkan surat kabar Opregte
Haarlemsche Courant dari Haarlem, dan merupakan surat kabar tertua yang
masih terbit dalam bentuk cetakan hingga saat ini. Ketika Jerman menguasai
Belanda pada tahun 1942, penerbitan dilebur dengan perusahaan Haarlems Dagblad.
Sejak saat itu, penerbitan surat kabar ini selalu mencantumkan tulisan Oprechte Haerlemse Courant 1656.
Nathaniel Butter dianggap sebagai orang
pertama yang menciptakan surat kabar berbahasa Inggris yang terbit secara
berkala pada tahun 1622. Pada tahun 1665 di Inggris, terdapat surat kabar
pertama yang terbit teratur setiap hari bernama “Oxford Gazette”. Ketika Henry Muddiman menjadi editor, Oxford Gazette berubah nama menjadi “London Gazette”. Henry adalah orang
pertama yang menggunakan istilah “Newspaper”.
The Daily Courant pada tahun 1702 menjadi surat kabar yang memberitakan masalah
politik dan pemerintahan.
Di Amerika Serikat, seorang
berkebangsaan Inggris bernama Benjamin Harris menerbitkan surat kabar pertama
pada tahun 1690 dengan nama “Public
Occurences Both Foreign and Domestick” di Boston. Surat kabar ini tidak
bertahan lama karena tidak memiliki izin resmi penerbitan. Surat kabar pertama
yang memiliki izin penerbitan adalah Boston
News-Letter yang terbit secara berkala di negara bagian Boston pada tahun
1704. The Pennsylvania Evening Post
merupakan harian pertama yang memenuhi kebutuhan informasi masyarakat
Pennsylvania pada tahun 1783.
II.
Karakteristik Surat Kabar
Karakteristik
surat kabar sebagai media massa mencakup :
1.
Publisitas
Disebut juga publicity yang merupakan penyebaran pada
publik atau khalayak (Effendy, dalam Karlinah, dkk. 1999). Salah satu
karakteristik media massa adalah pesan dapat diterima oleh sebanyak-banyaknya
khalayak karena pesan tersebut penting untuk diketahui umum. Dengan demikian,
pesan-pesan melalui surat kabar harus memenuhi kriteria tersebut.
2.
Periodesisasi
Menunjuk pada keteraturan terbitnya.
Sifat ini sangat penting dimiliki media massa. Sama seperti halnya makan,
manusia setiap hari membutuhkan informasi. Maka surat kabar harus memiliki
periodisasai terbitnya surat kabar tersebut.
3.
Universalitas
Menunjuk pada kesemestaan isinya, yang
beraneka ragam dan dari seluruh dunia. Isi surat kabar meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia, seperti masalah sosial ekonomi dan lain-lain. Selain itu,
lingkup kegiatannya bersifat lokal, regional, nasional bahkan internasional. Jadi bila penerbitan hanya
memiliki satu aspek saja, terbitan tersebut tidak bisa disebut dengan surat
kabar.
4.
Aktualitas
Menurut kata asalnya, aktualitas berarti
“kini” dan “keadaan sebenarnya”. Kedua istilah tersebut erat kaitannya dengan
berita, karena berita adalah laporan tercepat mengenai fakta-fakta atau opini
yang menarik minat dan penting. Laporan tercepat menunjukkan kekinian atau
terbaru.
5.
Terdokumentasikan
Beberapa pihak seringkali menjadikan
berita di koran sebagai kliping atau arsip. Karena berita memang menyajikan
berbagai fakta dalam bentuk berita dan artikel.
III. Penerbitan
Surat Kabar dalam Hubungannya di Bidang Ekonomi dan Politik
A. Ekonomi
Pada permulaan abad ke-17, Amsterdam
menjadi pusat persuratkabaran Eropa.
Surat kabar dianggap sebagai media yang menggambarkan komersialisasi
informasi dengan sangat baik. The Corrant
out of Italy, Germany etc dan The
Courant d’Italie merupakan dua surat kabar yang diterbitkan pertama kali,
yaitu pada tahun 1620. Munculnya kedua surat kabar tersebut di lingkungan
masyarakat merangsang perkembangan surat kabar mulai dari tahun 1662 hingga
saat ini.
Penemuan mesin cetak oleh Gutenberg
memicu kesadaran para pengusaha akan pentingnya publisitas. Para pengusaha
mulai menawarkan produk-produk mereka melalui iklan-iklan yang dimuat di surat
kabar. Surat kabar pada masa itu dianggap sangat efektif menyebarkan pengaruh
tertentu terhadap pembaca.
Pada permulaan abad ke-18, apa yang
disebut Asa Briggs dan Peter Burke sebagai “kediktatoran jarak” dapat diatasi
dengan lalu lintas informasi yang
membelah Atlantik dari Inggris ke Boston. Saat itu, informasi disajikan lewat
lembaran-lembaran kertas yang tidak tersistem. Kebutuhan akan efektifitas
penggunaan kertas sehingga memangkas beban angkut sekaligus biayanya lambat
laun melahirkan surat kabar.
Disini kami mencoba menjelaskan satu
contoh kasus surat kabar yang mempunyai hubungan di bidang ekonomi. Kepemilikan
suatu surat kabar tampaknya menjanjikan keuntungan besar jika dilihat dari
banyaknya pemasang iklan di surat kabar. Beberapa pengusaha pun tertarik untuk
melebarkan sayapnya di dunia media cetak. Selain tujuan finansial, surat kabar
juga dapat dijadikan alat propaganda masyarakat yang efektif. Salah satu
contohnya adalah kepemilikan La Stampa
oleh Fiat S.p.A.
La
Stampa
adalah salah satu koran nasional besar di Italia. Koran ini sudah berdiri sejak
tahun 1867 meski dengan nama berbeda yakni Gazetta Piedmontese. La Stampa sudah berkali-kali berganti pemilik dan pemimpin. Hingga akhirnya pada
tahun 1926, sebuah perusahaan otomotif terkemuka di Italia, Fiat, mengambil
alih kepemilikan surat kabar nasional ini. Fiat memanfaatkan La Stampa
untuk mendukung kegiatan komunikasi dan publikasi produk dari perusahaannya.
Bahkan hingga kini, La Stampa masih berada di bawah naungan Fiat S.p.A.
B.
Politik
Penemuan mesin cetak juga merangsang
para pelaku pemerintahan untuk melakukan propaganda melalui media tertulis,
baik propaganda mengenai profil mereka ataupun kebijakan-kebijakan yang akan
diterapkan. Seperti yang dilakukan Raja Louis XIV yang "kemegahan"
reputasi pemerintahannya (1661) merupakan buah tangan surat kabar.
Praktek propaganda sudah terlihat bahkan
pada tahun-tahun sebelum masa pemerintahan Raja Louis XIV. Bersamaan dengan
Fronde (Perang Saudara Inggris atau Revolusi Inggris) tahun 1648-1652, terjadi
ledakan bahan cetakan dimana propaganda mengenai kebebasan percetakan yang
tidak berlisensi dilancarkan. Propaganda tersebut merupakan cikal bakal
lahirnya kebebasan pers dewasa ini.
Surat kabar dianggap sebagai wadah
masyarakat menyampaikan aspirasi poltiknya. Seperti dalam koran mingguan dalam
bahasa Perancis, Gazette d’Amsterdam
yang mulai memuat tulisan-tulisan yang mengkritik Gereja Katolik dan
kebijaksanaan pemerinta Perancis. Surat kabar merupakan salah satu pelopor
munculnya "opini publik" yang pada masa-masa berikutnya berkembang
lebih luas menjadi "ruang publik".
IV. Perkembangan
Surat Kabar di Indonesia
A.
Surat Kabar di Indonesia
Dalam perkembangannya, surat kabar
di Indonesia memiliki runtutan fase yaitu yang pertama kalinya muncul adalah
koran Bromartani yang diterbitkan
oleh Harteveld & Co di Surakarta menggunakan bahasa Jawa. Koran Bromartani ini merupakan tiga koran
tertua di Indonesia. Selain koran Bromartani,
ada juga dua koran tertua lainnya yakni Soerat
Kabar Bahasa Melayu, yang diterbitkan di Surabaya oleh penerbit E.Fuhri.
koran ketiga yaitu Soerat Chabar Batavie
yang pertama kali diterbitkan pada
hari Sabtu 3 April 1858 oleh pengusaha Longe & Co. Kemudian disusul Selompret Melajoe di Semarang pada tahun
1860.
Pada era ini, di luar Jawa juga lahir
sejumlah surat kabar antara lain Celebes
Courant dan Makassar Handelsblad
di Ujungpandang, Tjahja Siang di
Manado, Sumatra Courant dan Padangsch Handelsblad di Padang.
Sementara di Batavia juga lahir sejumlah koran. Yang paling popular yakni Bintang Betawi. Hanya saja koran-koran
yang terbit pada masa awal sejarah pers tersebut kebanyakan dikelola kaum
kolonial.
Disamping itu, juga terdapat surat
kabar asing yang masuk dan beredar di Indonesia. Bahasa yang digunakan masih
menggunakan bahasa Belanda, karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestur (pengusaha dalam
negeri). Hal yang diberitakan hanya hal-hal yang biasa dan ringan dari
aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa
sampai berita ekonomi dan kriminal. Yang pertama kali adalah Bataviase Nouvelles. Surat kabar ini
diterbitkan pada jaman kompeni yaitu pada tanggal 7 Agustus 1744. Kala itu, Bataviasche Nouvelles hanya memuat
berita tentang acara resepsi pejabat, pengumuman kedatangan kapal, stok barang
dagangan, atau berita duka cita. Kemudian pada tanggal 5 Agustus 1810 surat
kabar kedua terbit dengan nama De
Bataviasche Koloniale Courant oleh Daendles.
Bataviasche
Koloniale Courant
tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia. Surat kabar ketiga
terbit pada 29 Februari 1812 dengan nama The
Java Gouverment Gazette yang kemudian sering disingkat Java Gazette. Keempat surat kabar berita negara, surat kabar ini
diterbitkan pada tahun 1828 dengan menggunakan nama De Bataviasche Courant. Kemudian pada tahun 1836 terbit surat kabar
kelima yaitu Soerabaijas Advertentie.
Di Surabaya
(1835) terbit Soerabajasch Niew en Advertentiebland. Sedangkan di Semarang
terbit Semarangsche Advertentiebland dan De Searangsche Courant.
Kemudian baru pada tahun 1900-an Dr.
Wahidin Soedirohusodo menangani surat kabar Redno
Dhoemilah dalam dua bahasa yaitu Jawa dan Melayu. Hal ini didasari setelah
kolonial Belanda mengijinkan kaum Tionghoa mengelola media cetak. Orang-orang
bumiputra baru mulai belajar mengelola koran setelah Tionghoa mulai menerbitkan
surat kabar. Pada masa inilah mulai mengkampanyekan nasionalisme, pendidikan
masyarakat, persamaan derajat dan budi pekerti.
Redno
Dhoemila ini
merupakan media pers lokal, hanya saja surat kabar Redno Dhoemilah ini juga didirikan oleh orang Belanda, FL Winter,
dengan perusahaan penerbit milik kolonial H Bunning Co. Dan pada tahun 1901
Datuk Sultan Marajo bersama adiknya yang bernama Baharudin Sutan Rajo nan
Gadang menerbitkan dan memimpin sendiri sebuah surat kabar yang diberi nama Warta Berita yang merupakan surat kabar
pertama di Indonesia yang berbahasa Indonesia, dimiliki dan redakturnya orang
Indonesia.
B. Dinamika Pers
di Indonesia
Perkembangan pers,
dalam hal ini terutama surat kabar di Indonesia dapat
dikategorikan ke dalam 8 jaman, yaitu :
1.
Zaman Penjajahan Belanda.
Memories der
Nouvelles merupakan surat kabar pertama yang terbit di
Indonesia atas perintah Jan Pieterzoon Coen
pada tahun 1615. Surat kabar ini hanya ditulis dengan tangan dan diterbitkan
oleh pemerintah VOC. Tanggal 14 Maret 1688, mesin cetak dari Belanda tiba di Indonesia, maka diterbitkanlah surat kabar tercetak yang pertama yang berisi
perjanjian antara Belanda dengan sultan Makassar. Sifat koran tercetak
pertama tersebut semata-mata komersiil belaka dan isinya adalah berita-berita
tentang Indonesia dan Eropa serta dapat dikatakan hanya diusahakan oleh
seorang saja, sebab pengusaha merangkap menjadi penerbit, pencetak sekaligus
redaktur.
Pada tahun 1828 di Jakarta diterbitkan Javasche Courant yang isinya memuat
berita-berita resmi pemerintahan, berita lelang dan berita kutipan dari
harian-harian di Eropa. Di Surabaya (1835) terbit Soerabajasch Advertentiebland yang kemudian diganti namanya menjadi
Soerabajasch Niews en Advertentiebland
dan Semarangsche Courant. Surat kabar
yang terbit pada masa itu tidak mempunyai arti secara politis karena lebih
merupakan surat kabar periklanan. Tidak lebih dari 1000-2000 eksemplar setiap
kali terbit.
Bukan hanya di Jawa saja orang Belanda
mengusahakan penerbitan surat kabar, tetapi juga di Sumatera dan Sulawesi. Di
Padang pada masa itu terbit Soematra
Courant, Padang Handeslsbland dan Bentara
Melajoe. Di Makasar (Ujung Pandang) terbit Celebes Courant dan Makassaarch
Handelsbland.
Versi lainnya, menurut Van der Kroef, Bromartani disebut sebagai surat kabar Indonesia pertama yang berbahasa melayu.
Surat kabar ini terbit di Surakarta pada tahun 1855 yang kemudian disusul
beberapa surat kabar lainnya seperti Slompret
Melajoe yang terbit di Semarang pada
tahun 1860, Bintang Timur pada tahun 1862
di Surabaya dan Matahari di Jakarta. Namun surat kabar-surat kabar tersebut jelas masih jauh di belakang
Belanda dan China pada waktu itu. Hal ini disebabkan karena kurangnya tenaga
kerja yang cakap, kurangnya dana, adanya tekanan dari penjajahan Belanda dan sedikitnya masyarakat pribumi yang bisa
baca tulis.
2.
Masa Kebangkitan
Nasional/ Zaman pergerakan
Diawali munculnya pergerakan Budi utomo pada tanggal 20 Mei 1908, surat kabar Indonesia mulai disebut sebagai
surat kabar perjuangan. Surat kabar ini berfungsi sebagai pendorong bangsa
Indonesia dalam memperjuangkan nasib & kedudukan bangsa dan untuk menyampaikan azas, tujuan dan program aksi
partai mengingat mulai munculnya banyak organisasi pergerakan dari berbagai
golongan yang berbeda.
Masing-masing organisasi memiliki surat kabar masing masing. Budi Utomo sendiri menaungi surat kabar seperti Retnodoemilah, Darmo Kondo, Guru Desa dan Medan Priyayi. Sarekat
Islam menaungi surat kabar Utusan Hindia, Bendera Islam, dan Kaum Muda. Serta masih
banyak surat kabar lainnya yang berada dibawah paying organisasi pergerakan
lain.
Surat kabar-surat kabar tersebut membawa suara
pergerakan dan
membangkitkan kesadaran nasional untuk bergerak ke arah
pemerintahan sendiri. Dari segi teknik cetak dan tenaga redaksi surat kabar ini
masih jauh ketinggalan jika dibandingkan dengan surat kabar buatan belanda.
Namun melalui surat kabar tersebut, bangsa Indonesia lebih leluasa, teratur dan
terarah dalam menyampaikan aspirasi nasional untuk merdeka.
3.
Zaman Pendudukan Jepang
Surat kabar Indonesia masih terbit pada awal pendaratan tentara Jepang di Indonesia setelah pecahnya perang Pasifik pada tahun 1941. Namun setelah kurang lebih
sebulan lamanya Jepang menduduki Indonesia, surat kabar berbahasa Belanda dihanguskan dan semua surat kabar yang tadinya berusaha berdiri
sendiri dipaksa untuk bergabung menjadi satu dengan Jepang. Segala usahanya disesuaikan dengan rencana
serta tujuan tentara jepang untuk memenangkan Perang Asia Timur Raya. Sehingga
surat kabar-surat kabar Indonesia menemui ajalnya.
Surat kabar baru yang semata-mata menjadi alat pemerintah Jepang mulai diterbitkan. Diantaranya Asia Raya yang terbit di Jakarta, Sinar Baru di Semarang, Suara Asia di Surabaya dan Tjahaja yang diterbitkan di Bandung. Kabar dan berita yang dimuat di surat kabar ini hanyalah yang
pro Jepang.
Pers nasional di masa pendudukan Jepang memang mengalami pengekangan dan penderitaan lebih jika
dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Namun tidak sedikit pula keuntungan yang diperoleh. Diantaranya,
bertambah luasnya pengalaman karyawan pers Indonesia, tersedianya
fasilitas-fasilitas yang lebih lengkap, dalam bidang komersiil mengalami
kemajuan.
Di jaman Jepang, oplah surat kabar yang terbit berkisar 20-30
eksemplar perhari dan ini merupakan suatu peningkatan yang cukup bagus. Seperti
itulah keadaan pers Indonesia di jaman pendudukan Jepang, di samping banyak hal pahit yang dialami, namun
ada juga keuntungan yang diperoleh.
4.
Masa Revolusi
Fisik/ Zaman Kemerdekaan
Setelah diproklamasikannya kemerdekaan
Indonesia, dalam periode ini
pers Indonesia membawa corak tersendiri dalam sifat dan fungsinya. Pers Indonesia
digolongkan dalam dua kategori, yaitu terbit dan diusahakan di daerah
pendudukan sekutu juga Belanda (pers NICA) dan pers yang terbit dan diusahakan di daerah yang dikuasai republik
(pers republic). Kedua
golongan pers ini sangat berlawanan. Pers Republik berisi semangat
mempertahankan kemerdekaan dan menentang usaha pendudukan sekutu. Pers NICA
berusaha mempengaruhi rakyat agar menerima kembali Belanda.
Pekerja pers menyadari betapa berpengaruhnya surat kabar sebagai alat
pembangkit semangat dan jiwa kepahlawanan maka diterbitkan surat kabar berita
Indonesia di
Jakarta. Surat kabar ini dianggap sebagai pelopor
koran-koran republik. Sehingga terbitlah koran-koran republik lainya di berbagai
daerah.
Pers Republik memang mengalami berbagai kesulitan di daerah-daerah
pendudukan namun pada akhirnya mengalami kemenangan yang gemilang atas pers NICA. Dengan terpaksa Belanda mengakui kedaulatan Republic Indonesia pada desember 1949.
Dalam periode revolusi fisik ini mulai timbul gejala-gejala bahwa pers
Indonesia mulai beralih menggunakan
cara yang ditempuh dalam lingkup demokrasi liberal.
Setelah dikeluarkanya maklumat pemerintah pada November 1945, mulai muncul
partai politik yang berusaha mempengaruhi pers dan memiliki surat kabar yang
dapat menjadi terompet partai tersebut. Gejala lainnya yaitu penyalahgunaan
kemerdekaan pers yang menonjol sehingga istilah-istilah yang sebenarnya kurang
pantas digunakan menjadi hal yang sudah biasa digunakan sehari-hari.
Namun jika dilihat secara keseluruhan, peranan pers Indonesia selama
revolusi fisik tidaklah kecil. Mereka memelihara semangat perjuangan dan
perlawanan rakyat serta menyatukan tekad yang kuat menghadapi kaum penjajah.
5.
Masa Demokrasi
Liberal
Periode ini berkisar tahun 1950 sampai tahun 1959. Merupakan suatu lembaran hitam dalam sejarah pers Indonesia.
Untuk memperoleh pengaruh dan dukungan pendapat umum, pers yang pada masa ini
mewakili aliran-aliran politik yang saling bertentangan, menyalahgunakan freedom of the press. Bahkan tak jarang
melampaui batas kesopanan.
Para wartawan dalam masa liberal ini banyak dihinggapi
jiwa liberalitas dan penyakit sinisme. Bahkan krisis moril juga menghinggapi
para pekerja pers ini. Mereka memuat berita-berita tak bernilai,
tuduhan-tuduhan keji, dan artikel-artikel sensasional yang tidak bermutu. Pers
Indonesia seolah tertidur dan lupa akan perjuangan dan pembangunan yang harus
dilanjutkan agar mampu mencapai tujuan ke depan.
Dengan dibentuknya kabinet Karya sebagai pengganti kabinet ARI, pers Indonesia mulai bisa dikendalikan. Secara perlahan dan
bertahap mulai melaksanakan fungsinya seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Untuk
mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmurbukan dengan saling
jegal-menjegal melainkan bekerja sama. Jika ditilik kembali mengenai fungsi dan sistim pers Indonesia di masa
liberal, maka dapat dikatakan bahwa penyelewengan yang dilakukan oleh pihak
pers tersebut dikarenakan salahnya mengartikan praktik dari kebebasan per
tersebut.
6.
Masa Demokrasi
Terpimpin/ Orde Lama
Masa orde lama dipimpin oleh presiden Soekarno sebagai tindak lanjut dekrit presiden 5 juli 1959. Dalam
pelaksanaanya, ternyata prinsip demokrasi yang hendak ditegakkan tidak sesuai
dengan pernyataan pemerintah. Bahkan jauh menyimpang dan bertentangan dengan UUD 1945. Kenyataan dari demokrasi terpimpin
tersebut tercemin pula dalam dunia pers Indonesia pada masa itu.
Fungsi dan sistem pers dapat dikatakan menganut konsep otoriter.
Pers digunakan senagai terompet penguasa dan bertugas mengagung-agungkan
pribadi Soekarno sebagai pemimpin besar revolusi dan
mengindoktrinasi manipol. Kekangan pers tetap berlaku, bahkan pers diberi tugas
sebagai alat kolektif penggerak aksi-aksi masa secara revolusioner dengan
membangkitkan jiwa, kehendak, dan tindakan massa dengan tujuan melaksanakan
manipol serta segala ketetapan yang diambil pemerintah.
Kurang lebih
10 hari setelah Dekrit Presiden RI menyatakan kembali ke UUD 1945, tindakan
tekanan pers terus berlangsung. Terjadi pembredelan
terhadap kantor berita PIA dan surat kabar Republik, Pedoman, Berita Indonesia,
dan Sin Po. Awal tahun 1960 penekanan kebebasan pers diawali
dengan peringatan Menteri Muda Maladi bahwa “langkah-langkah tegas akan
dilakukan terhadap surat kabar, majalah-majalah, dan kantor-kantor berita yang
tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitkan pers nasional”.
Penguasa perang juga
mulai mengenakan sanksi-sanksi perizinan terhadap pers.
Tahun 1964 kondisi kebebasan pers makin
buruk: digambarkan oleh E.C. Smith dengan mengutip dari Army Handbook bahwa
Kementerian Penerangan dan badan-badannya mengontrol semua kegiatan pers.
Perubahan ada hampir tidak lebih sekedar perubahan sumber wewenang, karena
sensor tetap ketat dan dilakukan secara sepihak.
7.
Masa Orde Baru
Dengan dikeluarkanya Supersemar oleh
presiden Soekarno kepada Jendral Soeharto, maka dimulailah babak baru pemerintahan
Indonesia. Dalam periode ini dikatakan bahwa UUD 45 dan Pancasila benar-benar ingin dilaksanakan secara murni
dan konsekuen. Sehingga lahirlah istilah pers
Pancasila.
Menurut sidang pleno ke 25 Dewan
Pers bahwa Pers Pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi,
sikap, dan tingkah lakunya didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
Hakekat pers Pancasila adalah pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab
dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif,
penyalur aspirasi rakyat, dan kontrol sosial yang konstruktif.
Masa kebebasan ini berlangsung
selama delapan tahun. Namun pers kembali seperti zaman orde lama karena terjadi
peristiwa Malari (Lima Belas Januari 1974). Dengan munculnya peristiwa Malari beserta peristiwa-peristiwa lainnya, beberapa surat kabar dilarang terbit/dibredel, diantaranya
Kompas, Harian
Indonesia Raya dan Majalah Tempo yang
merupakan contoh-contoh kentara dalam sensor kekuasaan ini.
Pers pasca peristiwa Malari cenderung pers yang mewakili kepentingan penguasa, pemerintah atau
negara. Kontrol terhadap pers ini dipegang
melalui Departemen Penerangan dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Hal
inilah yang kemudian memunculkan Aliansi Jurnalis Indepen yang mendeklarasikan
diri di Wisma Tempo Sirna Galih, Jawa Barat. Beberapa aktivisnya dimasukkan ke
penjara. Pemerintah orde baru menganggap bahwa pers adalah institusi politik
yang harus diatur dan dikontrol sebagaimana organisasi masa dan partai politik.
8.
Masa Reformasi
Titik kebebasan pers mulai terasa
lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto. Banyak media massa yang muncul
kemudian dan PWI tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi. Kalangan pers
kembali bernafas lega karena pemerintah
mengeluarkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia
dan UU no. 40 tahun 1999 tentang pers.
Dalam UU Pers tersebut dengan tegas
dijamin adanya kemerdekaan pers sebagai Hak asasi warga
negara (pasal 4) dan terhadap pers nasional tidak lagi diadakan penyensoran, pembredelan,
dan pelarangan penyiaran (pasal 4 ayat 2). Dalam mempertanggungjawabkan
pemberitaan di depan hukum, wartawan memiliki hak tolak agar wartawan dapat
melindungi sumber informasi, dengan cara menolak menyebutkan identitas sumber
informasi, kecuali hak tolak gugur apabila demi kepentingan dan ketertiban
umum, keselamatan negara yang dinyatakan oleh pengadilan.
Hingga
kini kegiatan
jurnalisme diatur dengan Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik Jurnalistik yang
dikeluarkan Dewan Pers. Namun kegiatan jurnalisme ini juga
cukup banyak yang melanggar kode etik pers sehingga masih menimbulkan
kontroversi di masyarakat.
V. Majalah
A.
Sejarah Majalah
Kata ‘majalah’ berasal dari bahasa
Prancis, yaitu ‘magasin’ yang berarti
gudang atau ruang tempat menyimpan sesuatu. Beberapa ahli mendefinisikan kata
‘majalah’ sebagai kumpulan berita, artikel, cerita, iklan, dan sebagainya,yang
dicetak dalam lembaran kertas ukuran kuarto atau folio dan dijilid dalam bentuk
buku, serta diterbitkan secara berkala. Majalah dapat diterbitkan secara
berkala seminggu sekali, dua minggu sekali atau bahkan sebulan sekali namun
tidak setiap hari.
Majalah pertama kali terbit sejak
tahun 1665 di Prancis, yaitu Le Journal
de savants. Namun pada saat itu majalah ini masih berupa sisipan dari surat
kabar. Le Journal de savant ini
merupakan majalah periodik yang berisi berita penting dari berbagai buku dan
penulis, komentar seni, filsafat, dan iptek.
Di Inggris, majalah yang pertama
kali terbit adalah majalah Tatler,
yaitu pada tahun 1709 – 1711 dan The
Spectactor pada tahun 1711-1712. Namun kedua majalah tersebut hanyalah
merupakan majalah yang terbit singkat. Gentlemen’s
Magazine lebih tepat disebut sebagai majalah umum pertama yang terbit di
Inggris. Majalah ini mulai terbit pada tahun 1731 dan dapat bertahan hingga
tahun tahun 1901. Gentlemen’s Magazine
ini berisi berbagai topik tentang sastra, politik, biografi, dan kritisisme.
Menyusul sepuluh tahun kemudian, majalah pertama terbit di Amerika Serikat.
Sedangkan di Indonesia, pada masa –
masa awal penerbitan pers, majalah lebih banyak digunakan sebagai media
penggerak massa untuk melawan pemerintahan yang tidak berpihak pada masyarakat.
Di samping itu majalah juga dijadikan alat penyebaran ideologi, kebijakan, atau
untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu. Dengan kata lain, pada
awalnya penggunaan majalah di Indonesia cenderung bersifat idealis dan politis.
Kemudian setelah konflik politik
mengendur, pers Indonesia mulai menampakkan sisi liberal. Kepentingan yang ada
dalam penerbitan majalah mulai bergeser pada kepentingan bisnis yang
berorientasi profit. Majalah – majalah baru yang berkonten umum mulai
bermunculan dengan tujuan meraih pasar seluas – luasnya demi memperoleh keuntungan
sebanyak – banyaknya.
B.
Perkembangan Majalah
Dunia percetakan mengalami kemajuan
tak henti – henti sejak dikembangkannya mesin cetak oleh Johannes Guttenberg
pada tahun 1455. Penemuan mesin cetak ini secara dramatis telah meningkatkan
kecepatan produksi berbagai barang cetakan, yang tentu saja majalah termasuk
salah satunya. Dengan adanya mesin cetak ini waktu yang digunakan untuk
memproduksi barang cetakan banyak berkurang sehingga produk yang dihasilkan
juga semakin banyak.
Kemajuan teknologi juga merupakan
salah satu faktor penting yang menunjang perkembangan majalah. Sebelumnya
penerbit media harus cekatan dalam pengumpulan beritadari berbagai tempat.
Makin tingginya kecanggihan teknologi cetak mempercepat penyebaran buku dan
majalah hingga menjadi massal.
Perubahan besar pada industri
majalah terjadi pada tahun 1890-an, yaitu ketika sejumlah penerbit mulai
mengubah industri penerbitan majalah secara revolusioner. Pengubahan industri
penerbitan ini terjadi karena para penerbit tersebut melihat adanya ratusan
ribu calon pelanggan yang belum terlayani oleh majalah yang ada. Maka dari itu
beberapa tokoh penerbit majalah, seperti S.S. McClure, Frank Musey, dan
Cyrus Curtis menciptakan majalah yang isinya sesuai dengan selera dan
kepentingan orang banyak.
Munsey’s dan McClure’s mulai menyajikan
artikel olahraga umum, tulisan tentang perang, lagu-lagu populer, selebritis,
dan sebagainya. Sedangkan Curtis menerbitkan majalah kaum ibu yang diberi nama Ladies’
Home Journal. Majalah – majalah lain dengan berbagai fokus
yang berbeda, seperti majalah – majalah khusus seni, arsitektur, kesehatan, dan
sebagainya pun mulai bermunculan tak lama kemudian. Kondisi ini kemudian
menimbulkan sebuah fenomena yang disebut dengan popularisasi dan segmentasi
isi.
C. Perkembangan
Majalah di Indonesia
Perkembangan
majalah di Indonesia terbagi menjadi empat fase, yaitu pada masa awal
kemerdekaan, zaman orde lama, zaman orde
baru, dan zaman reformasi.
a.
Awal kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan, semua majalah
diterbitkan dengan satu tujuan, yaitu untuk menghancurkan sisa-sisa kekuasaan
Belanda. Rakyat Indonesia berusaha untuk mengobarkan semangat perlawanan rakyat
terhadap bahaya penjajahan, menempa persatuan nasional untuk keabadian
kemerdekaan bangsa serta menegakan kedaulatan rakyat.
b. Zaman orde lama
Nasib majalah pada masa orde lama dapat
dikatakan sangat tragis sejak dikeluarkannya pedoman resmi untuk penerbit surat
kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Dalam pedoman ini surat kabar dan
majalah di Indonesia wajib menjadi pendukung, pembela dan alat penyebar
“Manifesto Politik” yang pada saat itu menjadi haluan negara dan program
pemerintah. Akibatnya perkembangan majalah tidak begitu baik majalah yang
terbit relatif sedikit.
c. Zaman orde baru
Awal orde baru banyak majalah terbit
dengan cukup beragam jenisnya. Bahkan terdapat kategorisasi majalah yang terbit
pada masa orde baru ini, yaitu:
·
majalah
berita : Tempo, Gatra, Sinar, Teras
·
majalah
keluarga : Ayahbunda, Famili
·
majalah
wanita : Femina, Kartini, Sarinah
·
majalah
pria : Matra
·
majalah
remaja wanita : Gadis, Kawanku
·
majalah
remaja pria : Hai
·
majalah
anak – anak : Bobo, Ganesha, Aku Anak Saleh
d. Zaman reformasi
Pada zaman reformasi tidak diperlukan
lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk membuka usaha penerbitan.
Hal ini membuat berbagai pihak menerbitkan majalah baru dapat terbit sesuai
dengan tuntutan pasar.
masa
sekarang
Berbeda dengan majalah pada awal
diterbitkannya, seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi majalah saat
ini dapat langsung diakses melalui berbagai media. Baik melalui internet atau
bahkan melalui handphone sekalipun.
Hal ini semakin mempermudah masyarakat dalam mengkonsumsi majalah – majalah
yang ada.
D.
Jenis – jenis Majalah
Secara
garis besar, Rivers (1983: 5) membagi majalah ke dalam empat jenis, yaitu:
1. Mass Magazine
Mass magazine mempunyai oplah yang besar. Jenis majalah ini berusaha
menjembatani khalayak dari berbagai latar belakang melalui isinya yang bersifat
umum. Contoh dari jenis majalah ini adalah OktoMagazine yang kontennya berisi
berbagai macam topik mulai dari kesehatan, makanan dan minuman, seni dan
budaya, dan masih banyak lagi.
2. News Magazine
News magazine memiliki jumlah pembaca yang banyak yang memiliki
ketertarikan terhadap isu-isu kontemporer. News
magazine memberikan pembaca pemahaman tentang konteks yang ada dalam sebuah
peristiwa, bukan sekedar fakta. Contoh : Majalah Tempo.
3. Class Magazine
Secara
harafiah, class magazine dapat
diartikan sebagai ‘majalah berkelas’. Kualitas dan konten majalah ini ditujukan
bagi pembaca yang berpendidikan tinggi serta tertarik pada urusan publik dan
sastra. Meski jumlah pembacanya tidak terlalu banyak, majalah jenis ini
mempunyai pengaruh yang cukup kuat karena menghadirkan opini dari para pemimpin
atau penguasa. Contoh : Majalah Cakra.
4. Specialized
Magazine
Specialized
magazine menyajikan konten spesifik bagi pembaca yang spesifik pula.
Majalah jenis ini dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
Business papers: Diterbitkan
oleh lembaga independen yang bersifat komersil. Informasi di dalamnya penting
bagi bisnis, industri, atau profesi tertentu. Salah satu contohnya adalah
Majalah Franchise.
Company
publications: Diterbitkan oleh firma/perusahaan
dan didistribusikan ke karyawan,
pengecer, pelanggan, dan pemegang saham. Contoh dari jenis majalah ini adalah
majalah internal perusahaan PT New Ratna Motor “â
Nasmoco News â”. Majalah ini bertujuan
sebagai media komunikasi antar karyawan PT New Ratna Motor dalam memberikan
informasi dan hiburan serta sebagai sarana untuk memberikan motivasi kerja bagi
karyawan.
Association
journals: Mirip dengan business papers,
hanya saja majalah jenis ini diterbitkan oleh asosiasi atau
organisasi tertentu. Contoh : Majalah NU Aula.
VI. Penyebab
Dampak Negatif Tulisan di Surat Kabar dan Majalah
Hampir di semua negara, kebebasan pers selalu
dilindungi oleh undang-undang. Sayangnya, terkadang ada pihak yang
menyalahgunakan kebebasan pers ini dengan menulis hal-hal yang memicu protes
pembaca. Seperti yang dilakukan surat kabar asal Denmar, Jyllands-Posten, pada
edisi 30 September 2005. Pada hari itu mereka menerbitkan dua belas karikatur
satir Muhammad, nabi terakhir agama Islam. Entah apa motif sesungguhnya Jyllands-Posten tidak
menyensor karikatur berbau SARA ini. Menurut mereka karikatur ini hanyalah
ilustrasi artikel yang membahas penyensoran diri (self-censorship) dan kebebasan berpendapat (freedom of
speech). Artikel ini ingin menunjukkan bahwa kebebasan
berbicara berlaku bagi siapapun.
Sejak
Organisasi Konferensi Islam (OKI) mulai menentang karikatur ini pada Desember
2005, kontroversi ini kemudian menghangat di dunia. Timbullah gelombang protes masyarakat dunia
kepada surat kabar ini. Ilustrasi tersebut merupakan sebuah penghinaan
besar-besaran terhadap agama Islam serta menunjukan adanya Islamofobia di
Denmark. Sekretaris Jenderal PBB pada waktu itu, Kofi Annan, turut menyatakan
keprihatinannya akan peristiwa ini dan berkata bahwa “Kebebasan pers, harus
selalu diterapkan melalui penghormatan terhadap keyakinan agama dan ajaran
seluruh agama”.
Di Indonesia
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengecam keras adanya mengecam keras
karikatur Nabi Muhammad ini, namun beliau juga menekankan bahwa umat Muslim
diharapkan menerima permintaan maaf sang penggambar dan jangan melakukan
tindakan yang melanggar hukum.
Beberapa media massa sempat
menerbitkan ulang karikatur ini, termasuk dua tabloid asal Indonesia: Tabloid
Gloria dan Tabloid PETA. Pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW ini sempat
menimbulkan keresahan masyarakat. Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Gloria,
David da Silva, memohon maaf pada masyarakat dan mengaku khilaf atas terbitnya
tabloid pada edisi 288 pekan ke II Februari 2006. Sekitar 8,000
eksemplar edisi ini pun segera ditarik dari pasaran.
Bahkan
Pemimpin Redaksi (Pemred) Tabloid Peta, Wahab, akhirnya ditetapkan jadi
tersangka oleh Polda Metro Jaya terkait kasus pemuatan karikatur kontroversial
pada Tabloid Peta No. 53 edisi 12 Februari 2006. Selain Wahab, status tersangka
juga ditetapkan terhadap Cepi, manajer operasional tabloid itu. Keduanya
dikenakan tuduhan dalam pasal 156 A dan pasal 157 tentang penodaan terhadap
agama.
Kasus di atas
hanyalah salah satu dari sekian contoh tulisan di surat kabar yang bisa
berdampak negatif. Banyak motif yang bisa mendalangi tindakan ceroboh tersebut.
Baik di sengaja maupun tidak, hendaknya para pelaku media bisa berperilaku
lebih selektif terhadap bahan tulisannya.
Daftar
Pustaka
Briggs,
Asa dan Peter Burke. 2006. SEJARAH SOSIAL
MEDIA: Dari Gutenberg Sampai Internet (diterjemahkan oleh Jakob Oetama).
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Flournoy, Don Michael. 1989. Analisa Isi Surat Kabar Indonesia.
Yogyakarta : gadjah Mada University Press.
Junaedhie, Kurniawan. 1995. Rahasia
Dapur Majalah di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
LP3ES. 1987. Perspektif Pers Indonesia. LP3ES.
Peerboom,
Robert. 1970. Surat Kabar (diterjemahkan
oleh DRS. S. Rochady). Bandung: Penerbit Alumni.
Rivers, William L. 1983. Magazine
Editing in the 80’s: Text and Exercises. California: Wadsworth Publishing
Company
Rossani, Celviana. 2010 .”Majalah Internal Perusahaan PT New Ratna
Motor â Nasmoco News â Divisi Content (Isi)".Update 22 Desember
2010.archived at:http://eprints.undip.ac.id/24909/
Smith,
Edward S. 1983. Sejarah Pembredelan Pers
di Indonesia. Jakarta : Grafiti Press.
Taufik,
I. 1977. Sejarah dan Perkembangan Pers di
Indonesia. Triyinco.
Zaini,
Akhmad. 1995. Kisah Pers Indonesia 1974 –
1966. Yogyakarta : LKiS.
Diunduh
dari http://www.oktomagazine.com/oktolifestyle/art_culture pada 27 Maret
2012 pukul 20.15 WIB
Diunduh
dari http://www.scribd.com/doc/20102787/Sejarah-Buku-Majalah-Surat-Kabar
pada 27 Maret 2011 pukul 21.32 WIB.