Kamis, 10 Januari 2013

Kisruh Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta



Sampai saat ini, penetapan upah minumum regional (UMR) atau yang sekarang dikenal dengan upah minimum provinsi (UMP) belum menemukan titik temu. Rencananya, penetapan UMP untuk tahun 2013 akan dilakukan maksimal tanggal 20 November 2012. Namun hingga saat ini, baik dari pihak Kementrian, Gubernur, Asosiasi Pengusaha serta kelompok buruh belum mendapatkan kata sepakat.  
Upah minimum regional (UMR) Provinsi DKI Jakarta tahun 2011 menurut peraturan gubernur provinsi DKI Jakarta nomor 196 tahun 2010 tentang upah minimum provinsi tahun 2011, yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15 November 2010 adalah sebesar Rp 1.290.000,- (satu juta dua ratus sembilan puluh ribu rupiah). Sedangkan UMR DKI Jakarta tahun 2012 ini sebesar Rp1.529.150 dengan persentase kenaikan sebesar 18,5%.
                Upah minimum provinsi (UMP) di DKI Jakarta ini terbilang paling tinggi daripada UMP di daerah-daerah lain di Indonesia. Misalnya saja bila kita bandingkan dengan UMP Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2012 yang hanya sebesar Rp 892.660. Memang UMP disini tidak bisa ‘diperbandingkan’ antara satu daerah dengan daerah lain karena tingkat konsumsi dan kebutuhan hidup juga berbeda-beda di setiap daerah.
                Sebagai kota metropolitan yang juga menjadi ibukota negara Republik Indonesia, Jakarta menawarkan ‘gemerlap’ peluang kerja yang menarik penduduk dari luar Jakarta untuk melakukan urbanisasi ke Ibukota. Padahal kenyataannya, tidak semua kaum urban tersebut mendapatkan pekerjaan yang mereka impikan, bahkan sebagian bisa dikatakan gagal mengadu nasib di ibukota. Dari data BPS, jumlah angkatan kerja di Provinsi DKI Jakarta pada Agustus 2012 mencapai 5,37 juta orang. Jumlah ini bertambah bila dibandingkan dengan data tahun 2011 yang hanya 5,14 juta orang. Dari jumlah angkatan kerja tersebut, jumlah penduduk yang bekerja sejumlah 4,84 juta orang. Jumlah ini juga meningkat dari tahun 2011 yang berjumlah 4,59 juta orang yang bekerja.
                Di Provinsi DKI Jakarta ini, sektor formal mampu menyerap 72,16 persen pekerja, sedangkan sisanya bekerja pada sektor informal. Dari data-data tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa sebagian besar pekerja di DKI Jakarta merupakan pegawai, atau bisa dikatakan sebagai buruh. Pada hari Selasa, 13 November 2012 kemarin, Forum Buruh DKI Jakarta menarik perwakilannya yang rencananya akan mengikuti rapat Dewan Pengupahan untuk merekomendasikan UMP DKI 2012 di Balai Kota. Forum Buruh tersebut bersikeras bahwa mereka tetap menuntut UMP tahun 2013 sebesar Rp 2.799.000.
                Namun Dewan Pengupahan Daerah dari unsur pengusaha menolak usulan angka sebesar 2,7 juta tersebut. Dari pihak pengusaha sendiri, UMP yang diusulkan adalah sebesar + Rp 1.900.000. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menginginkan agar UMP tahun 2013 adalah 100% dari kebutuhan hidup layak (KHL). Salah satu faktor yang memberatkan pengusaha terhadap usulan UMP dari pihak buruh tersebut adalah angka tersebut lebih dari 30% dari nilai KHL. Mengingat inflasi di wilayah Jakarta hanya sekitar 4,5%, jadi kenaikan UMP yang ideal sebesar 15%.
                Pada tanggal 14 November 2012 kemarin, akhirnya Dewan Pengupahan menetapkan UMP DKI Jakarta sebesar Rp 2.216.243 atau 112% dari Kebutuhan Hidup Layak (KHL). Kenaikan UMP lebih tinggi 12% dari KHL didasarkan pada proyeksi inflasi tahun depan sebesar 4,9% ditambah dengan pertumbuhan DKI Jakarta yang sekitar 6,7%. Hal ini mendapatkan respon positif dari kalangan buruh. Namun, dari kalangan pengusaha, mereka masih merasa keberatan dengan keputusan tersebut.
                Memang akan selalu terdapat pro dan kontra dalam sebuah keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Terutama mengenai hal-hal yang menyangkut kehidupan khalayak seperti ini. Kaum buruh menyambut positif keputusan ini meskipun tidak sesuai dengan tuntutan mereka sebelumnya, yaitu UMP sebesar Rp 2.799.000.
Namun bagi kaum pengusaha, hal ini masih dirasa berat. Terutama bagi pengusaha kecil dan pemilik UKM-UKM yang tidak memiliki modal serta penghasilan yang besar untuk membiayai gaji pekerja mereka. Bahkan beberapa kaum pengusaha berencana untuk menuntut Jokowi apabila ia mengesahkan keputusan tersebut karena mereka merasa tidak mendapatkan keadilan dalam keputusan itu. Menurut Muhammad Rusdi, Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), pengusaha UKM yang tidak sanggup membayar UMP tersebut dapat menangguhkan pemberlakuannya dengan menyampaikan kondisi keuangan perusahaan dalam 2 tahun terakhir. Bila tidak melakukan hal tersebut, maka pengusaha harus tetap membayar upah sebesar yang telah ditetapkan.
                Bila dilihat dari sisi kehumasan, kasus ini merupakan salah satu bukti gagalnya komunikasi internal untuk mengakomodir keinginan pihak pengusaha dan pihak pekerja. Meskipun dalam hal ini, campur tangan pemerintah juga cukup tinggi karena ini merupakan masalah penetapan UMP yang hanya berhak ditetapkan oleh pemerintah. Namun seharusnya, pihak pengusaha harus terlebih dahulu memiliki effort yang lebih agar kaum pekerjanya bisa bertindak lebih kooperatif.

Daftar Pustaka :
Diunduh dari http://disnakertrans.jakarta.go.id/ pada 16 November 2012 pukul 14.00.
Diunduh dari http://jakarta.bps.go.id/fileupload/brs/2012_11_07_08_56_13.pdf pada 16 November 2012 pukul 14.00.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar