Perjalanan Lokananta dimulai pada tanggal 29 Oktober
1956 yang tidak lepas dari prakarsa seorang tokoh asal Solo bernama R. Maladi. Beliau
adalah seorang komposer dan pencipta lagu yang terkenal dengan lagu “Dibawah
Sinar Bulan Purnama”. Lokananta ini diresmikan oleh Menteri Penerangan waktu
itu, bapak Sudibyo dengan nama Pabrik Piring Hitam Lokananta.
Nama Lokananta sendiri juga diusulkan oleh R. Maladi
yang pada saat itu menjabat sebagai Direktur Jenderal Radio Republik Indonesia
(RRI) Jakarta. Lokananta berarti suara gamelan dari khayangan yang tidak ada
penabuhnya. Nama yang diusulkan oleh Maladi ini sebelumnya telah diajukan
kepada presiden Soekarno dan telah disetujui. Bangunan yang terletak di Jalan
Ahmad Yani, Solo ini merupakan pabrik piringan hitam pertama di Indonesia.
Lokananta bisa jadi merupakan saksi dan tonggak
perkembangan media dan musik di Indonesia, khususnya di bidang rekaman. Mengapa
Solo dipilih sebagai tempat didirikannya pabrik piringan hitam ini? Selain
menjadi tempat asal R. Maladi, Solo juga merupakan kota yang mempunyai
perjalanan historis yang menarik mengenai perkembangan media. Seperti yang
telah kita ketahui bahwa Solo merupakan kota pertama di Indonesia yang bisa melakukan
siaran radio. Selain itu, Solo dipilih karena kota ini sangat kental dengan seni
dan kebudayaan.
Sebagai unit pelaksana jawatan, Lokananta berfungsi
untuk merekam, memproduksi dan menggandakan piringan hitam untuk bahan siaran 27
RRI di seluruh Indonesia. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa
Lokananta memiliki koleksi lagu dari berbagai genre dan daerah di Indones8ia. Mulai dari lagu keroncong, pop,
lagu daerah Jawa, Sunda, Kalimantan, Sulawesi dan daerah-daerah lain. Meskipun
dalam perkembangannya, piringan hitam tidak lagi menjadi sebuah sarana yang trend untuk menyimpan hasil recording.
Dengan begitu, pendengar radio bisa mengenal siaran
musik dan lagu dari daerahnya maupun musik dan lagu dari daerah lain. Tahun
1958 Lokananta mulai memasarkan produksi piringan hitamnya yang diberi label
nama Lokananta kepada masyarakat umum melalui RRI. Bahkan sampai saat ini, bila
kita menjumpai piringan hitam produksi dalam negeri, kita masih bisa mengamati
logo Lokananta yang tertempel di piringan hitam tersebut.
Tahun 1961, Lokananta berstatus sebagai perusahaan
negara berdasarkan PP Nomor 215 Tahun 1961. Beberapa tahun setelah Lokananta berdiri,
sekitar tahun 1971, kaset mulai muncul dan menggeser piringan hitam. Dan
Lokananta juga ikut memyesuaikan dirinya dalam melaksanakan tugasnya. Pada
dasarnya tugas Lokananta masih sama, hanya medianya saja yang berganti. Tidak lagi
menggunakan piringan hitam saja.
Agar dapat mengembangkan potensi Lokananta agar
dapat bersaing dengan industri rekaman komersial, status Lokananta diubah
menjadi BUMN Departemen Penerangan berdasarkan Keputusan Presiden No 13 Tahun 1983.
Dengan begitu, Lokananta berhak menjadi pusat penggandaan Betamax dan video
bersama dengan TVRI dan PPFN. Namun, sekitar tahun 1997-2000 terjadi likuidasi
pada Departemen Penerangan. Hal ini berimbas pada status Lokananta yang semakin
rumit dan tidak jelas.
Pegawai RRI Surakarta yang tadinya bertugas di sana
memilih kembali ke instansi asal. Sehingga yang bertahan di Lokananta hanya
yang berstatus pegawai perusahaan, sejumlah sekitar 24 orang. Dalam masa sulit
itu, atas perjuangan mantan Dirjen PPG Deppen Subrata, status Lokananta menjadi
cabang dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) dan berada di bawah Kementerian
BUMN. Sehingga karyawan Lokananta sekarang juga berstatus sebagai pegawai PNRI.
Namun sampai saat ini, nasib Lokananta dan karyawannya tetap merana.
Padahal bila kita mau sedikit berfikir kritis,
Lokananta sejatinya merupakan perusahaan rekaman dan bergerak di bidang media.
Dan dalam pelaksanaannya, Lokananta menjadi sebuah tempat berkumpulnya
kebudayaan berupa rekaman dan lagu-lagu daerah. Bila pemerintah peduli akan hal
ini, Lokananta sebenarnya bisa dimaksimalkan sebagai pusat pendidikan dan
kebudayaan serta wisata edukasi kota Surakarta. Maka selayaknya Lokananta
berada dibawah Dinas Kebudayaan, bukan PNRI yang sejatinya bergerak di bagian percetakan.
Pertama kali saya menginjakkan kaki di Lokananta,
bangunan tersebut memang masih terawat dengan baik. Hanya saja suasananya
begitu sepi, jauh dari bayangan saya tentang kesibukan sebuah perusahaan recording yang dulu pernah menjadi tugas
Lokananta. Bangunan bangunan utama, dalam arti yang masih sering digunakan
memang masih terlihat bersih. Namun sarana pendukung dan bangunan di
sudut-sudut kawasan Lokananta tampak seperti tidak terawat.
Bahkan, Museum yang dianggap sebagai “Abbey Road-nya” Indonesia tersebut
tidak mendapat perhatian yang cukup serius baik itu dari pemerintah atau
pihak-pihak swasta lain yang peduli tentang sejarah. Maklum saja bila memang
bangunan yang ada disana sudah mulai usang, karena saat ini karyawan di
Lokananta hanya sedikit. Mereka pun harus berusaha secara mandiri untuk
menghidupi dan mencukupi biaya operasional Lokananta. Salah satu usaha yang
telah dilakukan adalah dengan membuka arena futsal untuk umum.
Berikut ini merupakan beberapa kegiatan atau tugas
Lokananta saat ini, yaitu :
- Recording.
Memproduksi
dan memasarkan kaset dan CD Audio serta penjajakan untuk VCD
- Broadcasting.
Melayani
permintaan rekaman studio, penggandaan kaset dan Audio CD baik untuk sarana
media program pemerintah, perusahaan/instansi, organisasi, maupun perorangan.
- Printing
and Publishing.
Melayani
permintaan percetakan dan penerbitan buku-buku Perum Percetakan Negara RI
Jenis-jenis produksi Lokananta :
1. Degung,
Jaipong, dan Banyumasan
2. Klenengan
Surakarta, Yogyakarta dan Jawa Timur
3. Beksan
/ tari, Tayub dan Tandhakan
4. Ludruk,
Banyuwangen dan Gendhing Bali
5. Ketoprak,
Wayang Kulit, Wayang Orang dan Wayang Golek
Pertama kali saya datang ke Lokananta, rombongan
kami dibawa masuk ke ruang recording.
Suasana disana sangat kental dengan atmosfer “lawas”, sama seperti bila kita
masuk ke ruang recording di RRI
maupun TVRI. Meskipun ruangan tersebut memang bersih dan rapi. Ruang tersebut
kondisinya juga masih bagus karena belum lama direnovasi. Di ruang tersebut
juga terdapat seperangkat gamelan yang bernama Kyai Sri Kuncoro Mulyo.
Sejarah singkat gamelan yang dibuat sejak jaman
Pangeran Diponegoro ini dituliskan pada sebuah papan kayu yang diletakkan di
sebelahnya. Seperangkat gamelan ini tadinya milik R. Moelyosoeprobo yang
berasal dari Priyagung Trah Dalem di Yogyakarta Hadiningrat tahun 1920. Gamelan
ini diboyong ke Surakarta oleh pewaris pertamanya, R. Moelyosoehardjo pada
tahun 1937. Sejak tanggal 12 Oktober 1984 seperangkat gamelan ini berada di
Lokananta.
Proses rekaman jaman sekarang dan dahulu, seperti
yang dikemukakan oleh salah satu karyawan Lokananta sangatlah berbeda. Jaman
sekarang (digital) rekaman bisa
dilakukan secara terpisah dan bisa diulang-ulang beberapa bagian yang salah
saja. Namun jaman dahulu, ketika dilakukan proses rekaman, proses tersebut
harus utuh. Tidak boleh terjadi kesalahan sedikit saja. Karena bila terdapat
kesalahan dalam rekaman, maka rekaman tersebut harus diulang dari awal.
Bagian lain dari Lokananta menyimpan banyak sekali koleksi
dan warisan budaya, serta alat-alat yang dahulu digunakan untuk menggandakan
piringan hitam. Saat ini Lokananta memiliki koleksi kurang lebih 40.000 keping
piringan hitam yang tersimpan rapi di salah satu ruangan. Disana kita bisa
menemukan berbagai macam lagu jaman dahulu, dari berbagai daerah di Indonesia.
Banyak juga terdapat karya dari penyanyi jaman dahulu, misalnya saja Waldjinah
dan Gesang, serta penyanyi-penyanyi legendaris jaman dahulu.
Lokananta juga menyimpan arsip lagi Indonesia Raya
versi 3 stanza yang sempat menghebohkan beberapa saat yang lalu. Tempat ini
juga berperan penting dalam menyimpan arsip kebudayaan negara Indonesia. Salah
satunya ketika lagu Rasa Sayange diklaim oleh Malaysia, Indonesia bisa
membuktikan bahwa lagu tersebut merupakan budaya khas Indonesia yang sudah ada
sejak jaman dahulu. Karena Lokananta menyimpan master lagu tersebut.
Di ruangan lainnya, saya menjumpai banyak alat-alat
yang digunakan untuk merekam dan menggandakan piringan hitam, serta alat-alat
yang digunakan Lokananta selama beroprasi. Alat-alat tersebut antara lain :
1. Mikrofon yang
digunakan jaman dahulu
2. Alat pemutar
piringan hitam
3. Mixer audio tahun 1960
4. Alat quality control tahun 1980
5. Alat penggandaan
kaset
6. Mesin pemotong pita
kaset, dan lain-lain.
Perjalanan kami di kota Surakarta dilanjutkan ke
Monumen Pers Nasional yang letaknya berada di tengah kota Surakarta. Monumen
ini berada di Jalan Gadjah Mada nomor 59, Surakarta. Letaknya yang strategis
dan aksesnya yang mudah dijangkau menjadikan monumen ini cukup banyak
pengunjungnya bila dibandingkan dengan Lokananta yang nampak sepi.
Bila pertama kali melihat bangunan ini, nampaknya
tidak seperti sebuah museum atau monumen pers. Karena memang bangunannya sangat
megah. Arsitekturnya sangat indah dan didesain menggunakan batu candi. Sehingga
seolah-olah mirip seperti candi yang berada di tengah kota. Dahulu bangunan
ini dikenal dengan sebutan
"Sociteit" dan pada tanggal 9 Februari 1946 dipergunakan tempat
menyelenggarakan Kongres Pertama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kemudian
ditempati Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Surakarta hingga tahun 1977.
Surakarta menjadi sebuah kota yang sangat
bersejarah, terutama berkenaan dengan perkembangan media dan jurnalisme. Dalam
penjelasan yang dikemukakan petugas di Monumen Pers Nasional, sejak jaman awal
kemerdekaan Surakarta memang menjadi basis berkumpulnya wartawan dan jurnalis.
Mereka berada di Surakarta dengan pertimbangan bahwa Surakarta merupakan kota
terdekat dari Yogyakarta. Karena pada saat itu Yogyakarta menjadi pusat
pemerintahan negara dan administrasi.
Biasanya PWI berkedudukan di setiap provinsi. Namun
karena faktor historisnya, Surakarta memiliki cabang PWI sendiri, selain PWI
Jawa Tengah.
Pada tahun 1933 di gedung ini diadakan rapat yang
dipimpin oleh R.M. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang kemudian melahirkan stasiun
radio baru yang bernama Solosche
Vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi. Di gedung ini pula
PWI (Persatuan Waratawan Indonesia) terbetuk pada 9 Februari 1946. Tanggal
tersebut juga ditetapkan sebagai hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia dan
Hari Pers Nasional.
Untuk memperingati peristiwa bersejarah tersebut,
maka bekas gedung “Sasana Soeka” tersebut ditetapkan untuk dijadikan Monumen
Pers Nasional. Semula gedung ini adalah sebuah societiet miik kerabat
Mangkunegaran. Gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA. Sri Mangkunegoro VII,
pada tahun 1918 dan digunakan sebagai balai pertemuan. Gedung ini pernah
menjadi Markas Besar Palang Merah Indonesia (PMI).
Akhirnya pada tanggal 9 Februari 1978 Presiden
Soeharto meresmikan gedung Societiet Sasana Soeka menjadi Monumen Pers Nasional
dengan menanda tangani prasasti. Gedung Monumen Pers Nasional tersebut
selanjutnya dikelola oleh Yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional yang berada di
bawah Departemen Penerangan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Penerangan RI
No.145/KEP/MENPEN/1981 tanggal 7 Agustus 1981. Yayasan ini bertugas mengatur
dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana Pers Nasional termasuk gedung
Dewan Pers di Jakarta dan Monumen Pers Nasional di Surakarta.
Pasca likuidasi Departemen Penerangan RI, status
Monumen Pers Nasional berada dalam Badan Informasi dan Komunikasi Nasional.
Setelah Lembaga Informasi Nasional diintegrasikan kedalam Departemen Komunikasi
dan Informatika pada tahun 2005, maka Monumen Pers Nasional menjadi satuan
kerja dibawah Direktorat Jenderal Sarana Komunikasi dan Diseminasi Informasi
Departemen Komunikasi dan Informatika. Berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tanggal 16 Maret 2011,
diputuskan Monumen Pers Nasional adalah Unit Pelaksana Teknis Direktorat
Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Monumen Pers Nasional ini
mempunyai tugas dan fungsi yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Komunikasi
dan Informatika Nomor 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tanggal 16 Maret 2011 tentang
organisasi dan tata kerja Monumen Pers Nasional. Tugas dan fungsi tersebut
yaitu :
1. Tugas:
Monumen Pers Nasional
mempunyai tugas melaksanakan pelestarian dan pelayanan kepada masyarakat
mengenai Monumen Pers Nasional dan produk pers nasional yang bernilai sejarah.
2. Fungsi:
- Pelaksanaan
pelestarian pemberian pelayanan kepada masyarakat mengenai Monumen Pers
Nasional dan produk pers nasional yang bernilai sejarah.
- Pelaksanaan
administrasi Monumen Pers Nasional.
Dalam kunjungan yang saya lakukan, saya mengamati
bahwa di Museum Pers Nasional tersebut terdapat banyak sekali koleksi yang
disimpan rapi dalam ruangan-ruangan. Sayang sekali, di beberapa bagian museum
sedang dilakukan perbaikan, juga beberapa barang sedang dibawa ke luar kota
dalam rangka pameran. Sehingga kami tidak bisa melihat keseluruhan koleksi,
juga diorama-diorama. Benda-benda dan koleksi yang ada di Monumen Pers Nasional
tersebut antara lain :
1. Patung naga.
Begitu datang ke Museum
Pers, selain disambut dengan bangunan yang megah, kita juga akan melihat patung
naga yang ada di sisi pintu masuk.
2. Kenthongan.
Terdapat sebuah
kenthongan besar yang bernama Kenthongan Kyai Swara Gugah. Kenthongan yang
terbuat dari kayu ini melambangkan sebuah alat informasi pada jaman dahulu.
Karena jaman dahulu, penyebaran informasi dilakukan dengan memukul kenthongan
agar masyarakat berkumpul, kemudian informasi bisa disampaikan. Nama Kyai Swara
Gugah sendiri melambangkan harapan bahwa masyarakat Indonesia akan selalu
tergugah untuk membangun bangsa. Kenthongan ini sudah berada disini sejak 1978.
3. Baju Wartawan Hendro Subroto.
Siapa Hendro Subroto?
Beliau adalah seorang wartawan perang yang sangat hebat. Ia pernah meliput
perang yang terjadi, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Baju ini
adalah baju yang digunakan ketika terjadi konflik di Timor Timor tahun 1975.
Beliau tertembak di beberapa bagian, namun masih bisa diselamatkan.
4. Mesin ketik kuno
Mesin Ketik Kuno merk
Underwood yang dibuat sekitar tahun 1920 – 1927 ini merupakan milik
Bakrie Soeriatmadja, salah seorang Perintis Pers Indonesia. Bakrie Soeriatmadja
merupakan seorang wartawan dan Pemimpin Redaksi Koran berbahasa Sunda,
Sipatahoenan.
5. Pemancar radio kambing
Pemancar radio ini
digunakan ketika perang gerilya ke II tahun 1948-1949. Ketika itu Radio
Republik Indonesia (RRI) terpaksa mengungsi di desa Balong, Karanganyar. Dalam
situasi darurat perang, RRI tetap mengudara untuk mengobarkan semangat
perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pemancar ini disebut pemancar radio kambing karena
pemancar tersebut disembunyikan di dekat kandang kambing. Sehingga terkadang
terdengar suara kambing ketika siaran dipancarkan. Usaha tersebut dilakukan
guna menghindari serangan musuh. Dalam keterangan yang saya catat, pemancar ini
diduga merupakan pemancar yang sama dengan yang pernah digunakan oleh SRV (Soolosche Radio Vereneeging) untuk
menyiarkan secara langsung musik gamelan dari Solo ke Belanda pada 7 Januari
1937 di Istana Kerajaan Belanda.o
6. Plat
cetakan perdana koran Kedaulatan Rakyat
Koran Kedaulatan Rakyat pertama kali terbit pada 27 September
1945 di Yogyakarta, satu bulan setelah Indonesia Merdeka. Didirikan
oleh H. Samawi dan H Sumadi Wonohito. Nama Koran “Kedaulatan
Rakyat” diambil dari UUD 1945 aline 4, Suara Hati Nurani Rakyat.
Dalam Edisi Perdana Kedaulatan Rakyat tersebut memuat wawancara dengan Presiden
Soekarno yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia itu bukan
hadiah dari Jepang melainkan merupakan kemauan bangsa Indonesia sendiri .
7. Mikro film sumbangan wakil presiden Adam Malik.
8. Koran dari berbagai daerah di Indonesia.
Koran koleksi Monumen
Pers Nasional ini berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Koran-koran
disimpan di ruangan tertentu. Saya menemukan koran Suara Karya tertanggal 9
Februari 1985. Mungkin banyak sekali koran-koran lain dengan umur yang lebih
tua. Namun kendala dalam penyimpanan koran ini adalah kertas koran yang sudah
mulai lapuk dimakan usia.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Monumen Pers
Nasional adalah dengan digitalisasi surat kabar. Sehingga arsip yang ada
semakin lengkap, dan tidak perlu khawatir bahwa koran tersebut beberapa tahun
mendatang akan rusak dimakan usia.
9. Tabloid dan majalah
Di sebuah ruangan
tersimpan sekumpulan majalah yang dibendel menjadi 1 sesuai bulan terbitnya.
Kemudian majalah tersebut disusun berdasarkan judul majalah dan bulan
terbitnya.
Saat ini, setiap harinya Monumen Pers Nasional
tersebut melayani kunjungan masyarakat, terutama mereka yang mencari informasi
melalui perpustakaan dan dokumentasi media cetak. Fasilitas Media Center setiap hari juga dipenuhi
oleh pelajar, mahasiswa dan masyarakat umum untuk mengakses internet dan wifi secara gratis.
Ditambah dengan papan baca yang diletakan di depan Monumen Pers, yang merupakan
trotoar di pinggir jalan. Dengan itu, diharapkan bisa meningkatkan minat baca
dan juga masyarakat dapat mendapat informasi terkini dari koran yang dipajang
di papan baca tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar